Episode 1 Novel Hitam
Episode 1 Novel Hitam - Selamat pagi semua berikut Mimin memposting novel ke tiga dan buku keempat hasil karya mimin, Novel hitam ini penuh teka-teki yang menarik loh... Nanti di Episode kelanjutannya ada si Ambong yang lucu abiss. Silahkan dibaca Episode ke 1 nya.,,
Itu beliau Episode pertama dari Novel hitam
NAH JIKA KAMU PENASARAN SILAHKAN KOMENT "Mau dongg" :)
1. Aku Benci Hitam
“Bisakah kalian sedikit lebih tenang!!” Aku berseru sedikit sebal ke arah Rana-Rani yang tengah asyik berkaraoke, menganggu konsentrasi dalam belajar. Mereka tidak menghiraukan seruanku, kembali memperbesar Volume bunyi TV, memegang Mickrofon sekaligus joget-joget. Dua adik kembarku itu memang hobi sekali bernyanyi, lihatlah rambut panjang hitam mereka yang terurai, sengaja dikibas-kibaskan menggandakan gaya penyanyi di TV. Aku mengalah, membiarkan mereka asyik dengan kesibukannya.
Udara terasa semakin gerah, saya mengambil remote, menyalahkan AC. Sekarang pukul 02 siang, matahari sedang bersinar terang di luar, memberi dampak panas menjalar kemana-mana. Terdengar bunyi tertawa riang dari adik bungsuku di bawah belakang rumah, terihat dari dinding beling atas sini. Bi Dira selalu mengawasi mereka berdua. Dalam keluarga kami hanya saya yang tidak memiliki kembaran, adik bungsuku yang gres berusia 5 tahun bahkan hampir tak bisa dibedakan, hanya tahi lalat di ujung alis kananlah pembedanya, yang berjulukan Edi, sedangkan yang tidak memiliki tahi lalat berjulukan Adi. Sedangkan Rana-Rani hanya beda tinggi, kau tidak akan bisa membedakan mereka berdua kalau dijauhkan.
“Mama Pulang!!” Suara mama berseru dari bawah, mendengar hal itu, adikku Rana-Rani menghentikan karaokenya, bergegas berlarian turun ke bawah, melewati anak tangga. Aku mengambil remote TV, mematikan TV yang masih menyalah, ikut berjalan ke bawah menemui mama.
“Hai sayang!!” Mama tersenyum lebar, merentangkan kedua tangannya, bersiap memeluk Rana-Rani yang tengah berlarian menemuinya. Kedua adikku berseru riang menyambut mama. Aku berjalan santai, menyium tangan mama, saliman. Mama mengecup keningku.
“Tolong jangan perlakukan saya ibarat bocah, ma.. Malu aku”, Aku membalas kecupan mama dengan nada jengkel. Mama hanya nyengir, mengucek rambutku.
“Kok mama pulangnya cepat?” Rani bertanya.
Ayah dan mama bekerja di perusahaan kakek, mereka selalu berpakaian rapi setiap kali berangkat, saya tidak tahu mereka berprofesi sebagai apa, di umurku 13 tahun ini, saya masih belum mengerti jabatan-jabatan dalam sebuah perusahaan, yang saya tahu mereka hanyalah bekerja, itu saja.
“Pekerjaanya sudah beres, lagian mama kangen sama bawah umur mama”, mama lagi-lagi mencium kening Rana-Rani, “Adi-Edi kemana?” mama terdiam ke dalam, tidak melihat si kembar Adi-Edi.
“Lagi berenang di belakang” Aku menjawab.
Tidak lama saya menyampaikan itu, Adi-Edi sudah masuk ke rumah mengenakan handuk, melihat ada mama disitu, mereka bergegas berlarian ingin memeluk mamak. Anak yang paling bungsu selalu saja yang paling dimanja dalam setiap rumah.
“Mari sini!” mama menuju dingklik di ruang tamu, “Mama punya hadiah buat kalian”
Kami mengikuti mama berjalan. Rana-Rani sudah tidak sabar ingin tahu apa hadiahnya, saya juga penasaran, kira-kira mama mau memberi kami hadiah apa? Bi Dira masih sibuk menaburkan bedak ke tubuh Adi dan Edi, kelihatan repot sekali ketika ia hendak memakaikan baju ke dua bocah itu.
“Biarkan mereka pakai baju sendiri bi Dira”, mama memberi tahu.
Bibi Dira sudah kami anggap keluarga sendiri, ia sudah bekerja disini jauh sebelum saya lahir, itu kata Mama. Umurnya mungkin sekitar 50 tahunan.
“Tak apalah non, mereka masih kecil ini...” Bi Dira tetap mengerjakan tugasnya.
“Mama barusan ingin memberi hadiah apa?” Rani yang dari tadi sudah duduk rapi di bersahabat mama, bertanya. Aku juga tak sabaran ingin melihatnya, mama merogoh tas hitam kecilnya. Mengeluarkan sesuatu.
“Ini ada kalung untuk kalian berlima, masing-masing mendapatkan 1 kalung...” mama menyodorkan kalung berwarna hitam, dengan ujung mainanya membentuk segitiga hitam, ada satu segitiga hitam yang paling besar. Aku tidak tahu apakah ada arti di balik kalung itu, tapi saya mendengus kecewa ketika melihat benda tesebut. Astaga, saya pikir mama akan menawarkan benda atau sesuatu yang hebat, ternyata hanya kalung biasa, lebih-lebih berwarna hitam, saya benci hitam. Apa hebatnya coba kalung itu?
“YEIYYY, KALUNG!!! AKU SUKA KALUNG!!” Rana-Rani berseru riang kompak. Adi-Edi juga tidak keberatan menerimanya.
“Ini untuk anak tampan mama, si Sulung...” Mama menyodorkan kalung segitiga hitam yang paling besar. Aku menggeleng, bilang kalau tidak suka. Benar-benar tidak ada hal menarik dari kalung itu.
“Kau belum tahu makna dibalik kalung ini sulung...” Mama tersenyum melihat saya menolak, rambutnya yang hanya sepundak itu menciptakan mama memiliki aura keibuan, ibu karier yang hebat. Aku tetap menggeleng, menolak.
“Hanya ada 5 kalung ibarat ini di dunia, mama sengaja membuatnya untuk kalian, kalau ...”
“Kalung ini terlalu besar untuk kami, mama...”, Adi-Edi terdiam melihat kalung yang mereka pakai kebesaran. Kami semua tertawa.
“Simpan saja dulu sayang, kalung itu bisa digunakan dikala kalian sudah besar nanti” mamak mengucek rambut Adi-Edi. “Sampai kemana pembicaraan mama barusan?”
“Hanya ada 5 kalung ini di dunia” saya menjawab.
“Ah iya, mama sengaja menyuruh tukang kalung untuk menciptakan kalung ini, Istimewa untuk kalian, maknanya kalian cari sendiri nanti. Ini PR untuk kalian..” mama menghentikan pembicaraan. Kami yang sudah khusu’ mendengarkan kecewa. Ah Mama selalu saja memberi teka-teki.
Sudah tidak terhitung berapa kali mama menawarkan Teka-Teki untuk kami, salah satunya ketika saya berumur 10 tahun, saya ingat persis teka-teki mama yang diberikan waktu itu ...
“Sulungg, kemari nak...!!” Mama memanggil dari depan TV.
Aku yang dari tadi asyik bermain dengan Rana-Rani yang waktu itu masih berusia 7 tahun, menghampiri.
“Mama ada uang 1000 Rupiah, tolong kau beliin minyak, wortel, dan gandum yah...” mama menyodorkan uang 1000 rupiah lembaran. Entah apa yang ada di pikiran mama, meskipun usiaku dikala itu masih 10, saya sudah mengerti bahwa uang 1000 rupiah tidak akan bisa membeli semua yang mama minta, bahkan tak mungkin bisa membeli salah satu darinya. Sekarang diumur 13 tahun ini, kesannya saya paham ternyata uang 1000 rupiah memang bisa mendapatkan gandum, minyak dan wortel. Caranya, kau hanya cukup membeli bakwan, maka ketiganya akan didapatkan.
Mama memang unik dalam medidik kami, ia berusaha semoga semua anak-anaknya sanggup berpikir secara cerdas. Itulah sebabnya di usia 5 tahun itu, Adi-Edi sudah bisa menyusun rubik dengan cepat, dan hapal perkalian 1 hingga 5 di luar kepala, mungkin itulah cara mama semoga otak kami terus mencair.
“Ehh, lagi pada ngumpul!!!” Ayah gres pulang, tersenyum riang ke arah kami. Tanpa melirik kedua kalinya, keempat adik-adikku pribadi berlarian hendak memeluk, serasa satu tahun tidak pernah ketemu saja, saya menggeleng melihat perangai mereka.
“Permisi nyonya, saya mau mandi dulu!!” bi Dira meminta izin, mama mengangguk mempersilahkan.
“Ayah punya hadiah buat kami, gak?” Edi bertanya, bilang kalau mama barusan memberi kami kalung, juga mengadu kalau kak ‘sulung’ menolak sumbangan mama lantaran warna kalungnya hitam.
“Sepertinya mama punya teka-teki lagi buat kalian” Ayah melirik ke arah mama, mengangkat kedua alisnya, mama menyengir.
***
“Seharusnya jalan-jalan ibarat ini sering dilakukan, Ayah” saya mengutarakan kesenangan. Maksudku, kami jarang sekali pergi tamasya satu keluarga ibarat ini, lantaran masing-masing dari ayah dan mama punya kesibukan, bahkan terlalu sibuk. Namun, meskipun begitu, ayah dan mama tak pernah menomor duakan kasih-sayangnya kepada kami.
Ini hari minggu, ayah sengaja mengajak kami jalan-jalan, untuk merefresh pikiran, apalagi aku, Rana dan Rani sebentar lagi hendak menghadapi ujian. Aku ujian untuk melaju ke SMA, sedangkan Rana-Rani hendak menghadapi ujian semoga bisa lulus SD, sangat diharapkan penyegaran pikiran semoga tidak stress. Rana-Rani sudah menggunakan kalung sumbangan mama kemarin, mereka terlihat suka sekali dengan kalung itu. Adi dan Edi belum menggunakan kalungnya, lantaran kalung itu terlalu besar untuk mereka. Aku, bahkan melirik kalung itu saja tidak suka, lagipula kalau mama ingin memberi kalung, mengapa tidak berwarna lain selain hitam, dan juga pink (Tentu saja anak laki-laki tidak menyukai warna merah muda itu), bukankah mama tahu kalau saya tidak suka warna hitam?
Mobil kami sudah meninggalkan perkotaan, pohon-pohon hijau mulai terlihat, berselang-seling dengan rumah warga desa yang kebanyakan terbuat dari papan. Aku membuka jendela mobil, angin segar mengerayap ke dalam, hidung tampaknya bahagia sekali menghirup udara itu, luar biasa, oksigen disini benar-benar menciptakan nyaman. Tidak ibarat di kota, asap hitam, debu berkeliaran, dan bunyi berisiknya mesin selalu saja menganggu. Rana dan rani menyanyikan lagu “Naik-naik ke puncak gunung”, padahal kita tidak sedang menuju puncak, saya berkomentar. Adi-Edi sudah tertidur pulas, bunyi halusnya mesin, dan dibelai oleh pendingin kendaraan beroda empat sanggup menciptakan anak sekecil mereka cepat tidak sadarkan diri. Aku sebaliknya, perut mulai terasa mual, mabuk perjalanan.
“Kau mabuk, Sulung?” Ayah bertanya, sedikit melirik ke arahku yang duduk di samping, sekaligus memperhatikan jalan, sedikit melambatkan laju mobil. Aku mengangguk.
“Payah, padahal gres satu jam perjalanan” Ayah terkekeh. Mama yang mendengar ikut tertawa.
Perkampungan juga sudah terlewati, kini benar-benar memasuki hutan rimbun, terlihat satu-dua ekor primata bergelantungan bebas di atas sana, menyenangkan melihat mereka, menciptakan rasa mual sedikit meredah.
Saat itulah, ketika kami sedang bersenang-senang, sedang tertawa, bernyanyi riang, bersiap untuk main basah-basahan di air terjun, bersiap mengambil foto-foto kenangan, tiba-tiba ayah menginjak rem mendadak, berdecitt, menciptakan kami kaget bukan kepalang. Di depan sana, ada 4 motor menghadang di tengah jalan, beranggotakan 8 orang yang menggunakan epilog kepala berwarna hitam.
Mobil tidak bisa kembali jalan, lantaran selain mereka menghadang menggunakan motor, mereka juga menghadang menggunakan kayu-kayu besar berjejer di tengah jalan. Keadaan lengah, suasana tegang, rasa mual yang sempat menghampiri barusan enyah sudah, Adi-Edi terbangun dari tidur nyenyaknya, Rana-Rani sudah memuluk erat mama. 8 Orang itu menghampiri, masing-masing membawa pemukul kasti dan samurai. Ayah menelan ludah, keringat tiba-tiba keluar dari pori-pori kepalanya, sama halnya dengan saya dan mama. Ayah sempat mundur, berusaha memutar kemudi, tapi apa daya, ternyata di belakang 4 orang juga sudah menghadang. Kami dikepung.
“Siapa Mereka..?” Ayah menelan ludah, berkata serak. Mama sudah sibuk menelpon sanak saudara dan polisi, mulutnya tidak pernah berhenti berbicara.
“Halo... Halo.. Tolong Kami.. Tolong kami...”
Ayah berpikir cepat, kemudi dibanting ke samping memasuki hutan, sedikit oleng, menyelip diantara batang pohon. Sial, perjuangan tersebut percuma, kendaraan beroda empat tak bisa terjalu jauh berjalan lantaran terhimpit oleh pohon, celahnya tidak cukup untuk laju mobil. Ayah bergegas menyuruh kami untuk keluar dari mobil.
“Keluarrr... Cepat Keluarrr...!!” Ayah membukakan pintu mobil, berseru khawatir. Kami bergegas melangkah keluar, mama menarik kami semua semoga secepatnya lari dari sini. Orang-orang itu terus mengejar berderu dengan ganasnya. Apa bergotong-royong tujuan mereka?
“Ayoo lari sayangg...” Mama panik sekali. Ayah mengendong Adi dibelakangnya, dan Edi di depan. Namun sayang, kami terlalu lambat berlari dibanding mereka. Hanya dalam hitungan menit, kami sudah terkepung. Ketegangan semakin menjadi, saya memeluk Rana-Rani, Ayah semakin erat mengendong Adi-Edi, tangan sebelahnya erat memegang tangan mama.
“Mau apa kaliann?” Ayah berkata serak, pelipisnya bermandikan keringat, sama halnya dengan mama dan aku. Keempat adikku menangis ketakutan.
“Kau tidak perlu tahu maksud kami. Sekarang kalian ucapkan selamat tinggal pada dunia ini...” salah satu dari mereka menjawab dengan nada bunyi berat, matanya melotot kejam.
Ayah menurunkan Adi-Edi, menyuruh mereka berlindung di belakang, mencoba menghadapi bandit-bandit itu. Ketika ayah maju tanpa berkata lagi, tongkat kasti sudah berdebamm menghampiri kepala ayah, darah menyeruak dari kulit dan telinganya. Ayah terjatuh tak berdaya. Tak puas, mereka memenggal kepala ayah, menciptakan kepala terpisah dari badan, darah berhamburan keluar.
“AYAAAAHHHH!!!!!!” Kami berteriak kencang melihat kejadian itu, air mata sudah tak terbendung lagi, menyeruak berhamburan.
“TOLOOOONGGG!!!” Mama berteriak, kami juga ikut berteriak, “TOLOONGGG!!! TOLOONNGGG!”. Siapa saja Tolong kami.
Percuma, disitu sunyi sepi, tak ada satupun orang. Kumpulan berandal semakin merapat. Sekarang mama menyuruh kami untuk berlindung di belakangnya. Kami tak bisa lari, mereka berkeliling mengepung. Tak bisa dijelaskan lagi apa perasaan kami waktu itu, ketakutan yang amat sangat dan kesedihan melihat ayah terkapar disana, menyatu. Sekujur tubuh sudah gemetaran, saya menginjak satu kerikil besar, tanpa berpikir lagi, kerikil itu kuambil, dengan sekuat tenaga melayangkannya ke salah satu kepala bandit. Melihat orang yang kita cintai dibunuh secara tragis, akan menciptakan orang pengecut sanggup bertidak secara brutal, meskipun saya masih terbilang anak kecil, saya akan melaksanakan apapun untuk membalas mereka sekaligus melindungi mama dan adik-adikku. Rasakan itu, Rasakan itu brengsek..
Lemparan barusan Lumayan menciptakan salah satu dari mereka kesakitan, tampaknya luka sudah bersarang di kepalanya. Sayangnya, itu tidak menciptakan beliau senang, matanya membesar memperlihatkan kemarahan.
“Aku mohon maafkan ia” mama melebarkan tangan, berdiri di depanku. “Silahkan kalian bunuh aku, tapi tolonggg bebaskan anak-anakku” bunyi mama terisak-isak, memohon.
Yang barusan saya lempari pakai kerikil membuka tutup kepala, terlihat luka kecil di jidatnya, “Sialan kau udang kecil, kau akan meratapi hal ini” sekejap pedang dilayangkan ke leher mama. Darah mengucur deras, kepala dan tubuh mama terpisah.
“TIDDAAAAKK!!” Aku berteriak kencang bersamaan dengan teriakan keempat adikku. Tak puas dengan itu, beliau juga memotong-motong tubuh mama.
Mereka benar-benar iblis tak berperasaan. Mereka tertawa puas. Tanpa disadari saya melempari mereka menggunakan ranting, kerikil, daun, tanah, apapun yang ada di bersahabat kami. Keempat adik kembarku juga melaksanakan hal yang sama, tangisan tak pernah berhenti dari verbal mereka. Jahanam, mereka semua jahanam.
Lemparan itu tentu saja gampang mereka hindari. Beberapa menit berlalu, dikala darah dari tubuh mama dan ayah tidak lagi mengalir, tampaknya kami yang akan dibunuh.
Sebetulnya saya sudah siap untuk menyusul ayah dan mama, tapi demi apapun juga, saya tidak siap kalau adik-adikku ikut menjadi korban. Dibenak selalu terpikir “siapa mereka?” apa motif mereka melaksanakan ini semua? Ayah, mama, wajah mereka selalu terbayang-bayang.
Mataku merah menahan tangis sekaligus kemarahan. Masing-masing dari mereka sudah siap menghunuskan pedang dan tongkatnya, ingin segera menuntaskan tujuan. Aku sudah memeluk keempat adikku, tiba-tiba bunyi kendaraan beroda empat polisi terdengar dari kejauhan, menyadari hal itu rombongan berandal berderu hendak lari, tak ada nafsu lagi untuk membunuh kami, harus segera pergi atau mereka akan tertangkap.
***
Bi Dira dan Paman Leo –Adik ayah—Cepat menghampiri, memeluk erat kami dan ikut menangis. Aku terpaku ketika itu, kelam, dunia terasa kelam. Tak ada kata yang bisa keluar, tak tahu apa yang mesti dilakukan, ingin meronta, tapi meronta kepada siapa? Menghampiri mayit ayah dan ibu, tanganku sudah berlumuran darah, busuk busuk menyergap hidung. Menggenggam dan meraih tanah bercampur darah, pikiran membatin “AKU AKAN MEMBALAS DENDAM, PASTI... AKU AKAN MEMBALAS DENDAAAAAMMM”
Polisi mulai mengevakuasi mayit ayah dan mama. Keempat adik-adikku trauma, menangis berkepanjangan. Bandit-Bandi itu masih dikejar polisi.
“Kalian tidak apa kan sayang?” Bi Dira menanyai keempat adikku, yang bertanya menangis. Bi Dira kembali memeluk mereka “Tenang, ada bibi disini.. Tenang ya sayanggg” Ikut menangis, menenangkan.
“Laknat, siapa yang kejam melaksanakan ini semua” Paman Leo tak sanggup melihat hal itu. “Sulung, siapa pelaku ini semua? Apakah kau kenal salah satu dari mereka?” Paman Leo bertanya, suaranya bergetar. Aku menggeleng, masih terpaku.
Melihat ke arah lumpuran darah, terlihat sesuatu disitu, menghampiri, mengambil. Kalung, ini kalung sumbangan mama kemarin, erat sekali kugenggam kalungnya, mata pribadi terpejam. Tak kusangka ternyata ini hadiah terakhir dari mama.
Suasana dihutan itu semakin ramai, reporter dari banyak sekali Televisi, Detective, dan orang-orang lainnya memenuhi hutan. Sekali dua kali salah satu dari mereka yang menggunakan microfon, ditemani orang yang memegang kamera, bertanya kepadaku bagaimana detail kejadiannya. Aku menghiraukan, membatin ‘bahkan meskipun saya bicara, mereka tak akan membantu”.
“Tolong kalian minggir sebentar. Mereka masih trauma” Bi Dira membentak, sedikit menyingkirkan kerumunan wartawan, reporter dan kameramen. Beringsut mengajak kami memasuki mobil.
Kejadian barusan seakan mimpi, bagaimana tidak, beberapa menit yang kemudian kami masih bersenang-senang, bernyanyi-nyanyi, tertawa riang dengan ayah dan mama, dan BIMSALABIM lantas kejadian itu berubah 180 derajat, tak sanggup kupercaya mama dan ayah telah dibunuh sekejam itu.
Wajah berandal itu selalu terekam di pikiran. Pembunuhan itu selalu memenuhi pikiran. Aku melihat lamat-lamat kalung sumbangan mama, air mata menetes. Kenapa, kenapa semua ini terjadi? Kenapa dunia tiba-tiba menjelma hitam? AKU BENCI HITAM.Itu beliau Episode pertama dari Novel hitam
NAH JIKA KAMU PENASARAN SILAHKAN KOMENT "Mau dongg" :)
0 Response to "Episode 1 Novel Hitam"
Post a Comment