#3 Novel Motivasi Hidup Hitam Episode 4


#3 Novel Motivasi hidup Hitam Episode 4 - Hai Jumpa lagi di Novel Hitam, sudah tidak sabar kelanjutannya? Hari ini saya mengirim Novel hitam episode 4. Bagi anda yang ketinggalan ceritanya, silahkan baca #1 Novel Motivasi hitam episode 1 dan 2 dan #2 Novel Motivasi hitam episode 3.

Jangan lupa baca juga : #3 Motivasi diri dan renungan hidup

Ilustrasi Foto #3 Novel Motivasi hidup Hitam Episode 4. Sumber Foto : www.shutterstock.com

Berikut #3 Novel Motivasi hidup Hitam Episode 4

Wanita Misterius
           
            Baju sudah dilepas dan Celana sudah diganti menggunakan celana yang sama menyerupai orang-orang disini, baju dan celanaku kemarin sudah robek-robek dan kotor, sudah tidak layak untuk dikenakan. 

            Setelah malam itu, saya kembali diselamatkan oleh suku “Aye-Aye”, itu yakni suku orang-orang pedalaman disini, sehabis kai memberitahu. 

            Ah iya, kalian tahu, ternyata “Kai” Bukanlah nama kakek renta itu, kata “Kai” mengartikan pemimpin di suku. Nama orisinil “Kai” yakni lehoman, populer paling bijak di suku aye-aye. Ambong menjadi sahabat terbaikku disini, meskipun saya belum terbiasa berteman dengannya. Esok hari sehabis malam itu, saya demam, ambong selalu memberiku daun-daunan untuk obatnya, beliau baik sekali.

            Hari ini tepat  3 hari saya disini. Hari pertama waktu pingsan, hari kedua deman dan telah berganti pakaian, hari ketiga kembali hendak mencari jalan keluar dari sini, semoga saja saya tidak selama-lamanya terkurung disini. Apa kabar adik-adikku selama 3 hari ini?

            Selama beberapa hari ini suku aye-aye menurutku baik, mereka ramah, meskipun ada beberapa orang yang mewaspadai kalau saya yakni salah satu potongan dari suku pute. Aku saja masih belum tahu suku mana yang mereka maksud.

            Cahaya mentari sudah menyiram lembut hutan, kalau saya boleh menebak, mungkin kini pukul 06.30, ah entahlah, saya sudah lama tidak melihat jam berdetik, lagipula bagi rombongan suku aye-aye yang kira-kira hanya 30 orang itu, jam berapa tidaklah penting, yang penting pagi hingga sore mereka berburu mencari makan dan malam hingga pagi mereka istirahat. Ada satu lagi yang tampaknya masih menciptakan penasaran, dan Ambongpun sudah menjelaskannya, yaitu gua ditengah untuk pemimpin, dan 4 goa lainnya untuk yang lain. Entah bagaiaman cara mereka membagi tempat. Ambong sendiri ternyata merupakan cucu dari kai, kedua orangtuanya meninggal dikala berperang dengan suku pute, nasibnya hampir sama denganku.

            Jujur, saya masih belum terbiasa bercengkrama kepada siapapun disini, masih takut. Hei, bisa jadi kalau mereka tidak sanggup binatang buruan, mereka akan saling makan satu sama lain. Hanya gres berapa hari disini, belum tahu persis kebiasaan jelek mereka. Yang pasti, saya harus segera keluar dari sini.

            “Oyoyoy mereka berdua lambat nian, kai..” Salah satu anak laki-laki yang seumuran dengan kami mengadu.

            “Sulung...Ambong.. Cepatlah, kalian anak mudo harus semangat, jangan kalah dengan kakek tuo ini..” Kai meneriaki kami yang sudah tertinggal jauh dari rombongan, mengajak kami untuk berburu. Dengan berat hati saya ikut, lagipula ini merupakan salahsatu cara untuk mencari jalan keluar. Aku mengeluh, kenapa dari tadi hanya saya yang digerumuni oleh nyamuk-nyamuk disini, berdenging ditelinga, belum satu kali saya menepuk nyamuk yang melekat di lengan kanan, lengan kiri sudah dihinggapi oleh puluhan nyamuk, bersiap menusuk dan menyedot darah segarku.

            “Nyamuk-Nyamuk disini tahu betul, mano darah yummy dan tak enak. Kau bagaikan minuman segar bagi mereka..” Ambong tertawa, menepuk jidatku. Sekarang saya mulai tahu tabiat anak ini, ia begitu banyaomong dan tak bisa berhenti bicara.

            Dari sekian banyak orang, memang saya yang paling beda, kulitku putih sendiri. Lama-lama saya yang merasa asing disini, terbalik dari pendapat sebelumnya yang menganggap mereka aneh.

            “Hei sulung.. Sebelumnyo di suku kau, kalian berburu binatang apo sajo?” Ambong bertanya, bunyi kai kembali meneriaki kami untuk berjalan lebih cepat. Kai sudah memegang erat benda putih runcing, bentuknya macam kerambit – senjata khas dari padang, tapi tampaknya terbuat dari tulang. Aku tidak tahu namanya.

            Yang berburu yakni rombongan pria, dan wanitanya tinggal di rumah, mengurus anak dan memasak, mungkin. Hanya ada 5 termasuk saya dan Ambong yang seumuran, sisanya yakni laki-laki yang lebih tua. Setiap orang cerdik balig cukup akal membawa senjata yang diselip di pinggang, umpan anak panah di belakang dan busur panah di tangannya. Bicara ihwal anak panah, saya masih belum tahu anak panah milik siapa yang telah menyelamatkanku malam itu, semenjak tadi saya memperhatikan lamat-lamat panah mereka, namun tidak ada yang menyerupai itu.

            Aku menghiraukan pertanyaan terakhir Ambong.

            “Kau pendiam nian, sulung.. Yo sudahlah, saya takkan bicaro samo kau lagi..” Ambong sedikit mempercepat langkah. Aku bisa menebak kalau beberapa menit lagi ia akan segera membuka lisan kembali.

            Beberapa menit kemudian, dikala saya berniat memisahkan diri dari rombongan ini.

            “Sulung, kau pernah lihat babi terbang belum..?” Ambong menoleh.

            Sudah kusangka, Ambong tidak akan bisa diam.

            “Oyoyoy kau mau kemana? Jalannyo lewat sini..” Ambong berteriak. Aku menggaruk rambut yang tidak gatal.

            Suara ribut tiba-tiba terdengar.

            “Onyong! Cepat kau kepung rusanyo dari situ..!” Kai meneriaki salah satu anggota, “Kalian semuo cepat atur taktik menyerupai biasonyo...” berteriak lagi, semua anggota menyebar. “Sulung, Ambong, kalian ikut kai”. Kami mengikuti.

            Seekor rusa tengah khidmat menyantap rumput, sedikit kaget dikala kai berteriak, lantas beberapa detik kemudian kembali menikmati segarnya rerumputan. Semuanya sudah berjalan mengendap-endap, berusaha untuk tidak menghasilkan bunyi sedikitpun, sembunyi di balik pohon. Anak panah sudah terarah persis ke badan rusa. Aku diam, memperhatikan, mempending niat untuk memisahkan diri, ini kali pertama saya melihat pribadi perburuan di tengah hutan. Dan terlihat seru.

            Beberapa detik menunggu waktu yang pas, anak panah sudah melayang membelah udara, tertancap di badan si rusa, kira-kira tiga anak panah sudah bersarang di badan rusa tersebut. Tinggal menunggu waktu, rusa tumbang sudah, mereka berhasil, saya tidak mengecewakan takjub dengan kemampuan memanah orang-orang pedalaman ini.

            Tapi tunggu sebentar, jelas-jelas kai belum memerintah pasukan untuk melepaskan anak panah, dan tidak ada satupun dari mereka yang melanggar perintah. Aku melirik ke arah rusa yang sudah tak bernyawa, anak panah itu, anak panahnya sama dengan yang telah menolong saya dengan cara membunuh beruang di malam itu.

            Kai tidak memerintah pasukan untuk mengambil rusa, tetap dalam kondisi menginti di bebalik pohon. Tidak berapa lama, seorang anak perempuan yang boleh jadi lebih kecil satu tahun dibawah usiaku keluar, tangannya menggengam erat busur, dipundak belakang anak panah berkumpul di dalam bambu yang disandang, semua anak panah memiliki garis-garis merah, tidak salah lagi, beliau orangnya. Namun saya masih sedikit sangsi, apakah mungkin perempuan kecil itu orangnya.

            Setelah perempuan kecil berkulit putih dengan rambut lurus rapi dan menggunakan baju yang sama dengan rombongan suku aye-aye itu keluar, menyusullah dua orang laki-laki dwasa, menghampiri rusa dan dengan cepat menyeretnya. Lantas badan mereka hilang di balik batang-batang pepohonan.

            “Siall!!” Ambong mendengus. Aku memperhatikan wajah hitamnya yang ditekuk sebal.

            “Dia siapa?” Aku bertanya, mengusir rasa penasaran.

            Untuk kali ini Ambong tidak menjawab. Kai memerintah rombongan untuk mencari buruan yang lain.

            Aku masih ingin tau dengan anak perempuan kecil barusan, kenapa pula si Ambong nampaknya tidak mau membahasnya?

            Sekujur kulitku sudah berjejer bintik-bintik merah bekas bacokan nyamuk.

            Sinar matahari sudah sedikit berganti warna menjadi orange, hari merangkak tua. Burung dengan beda-beda warna dan bunyi sudah berjejer rapi di pepohonan. Kai mengajak untuk kembali ke goa. Hari ini saya belum menemukan jalan keluar, benar-benar galau harus berbuat apa lagi. Perburuan barusan hanya mendapatkan satu babi hutan gemuk, kai bilang kalau itu sudah cukup untuk mengganjal perut malam ini. Mereka memotong babi itu menjadi beberapa bagian, kai menentukan untuk membawa pahanya saja ke goa.

            Aroma khas daging tercium wangi dikala kai dan Ambong membakarnya di dalam goa, meskipun begitu, saya masih jijik dengan daging babi, lebih menentukan aben ubi singkong yang kami temukan di jalan barusan. Tubuhku sudah lengket oleh keringat, tidak nyaman, sudah beberapa hari ini tidak mandi, apakah orang-orang disini memang tidak pernah mandi? Entahlah, saya masih terlalu takut untuk bertanya.

            “Kau yakin tidak mau makan daging ini, sulung?” Kai bertanya. Aku mengangguk, tak banyak bicara.

            “Kai... Kai sudah pernah melihat kota di dekat sini?” Aku memberanikan diri untuk bertanya, semoga saja orang renta ini bisa tahu, dan saya bisa segera kembali pulang. Rindu rumah.

            “Oyoyoy jadi kau mencari itu?” Kai melihat ke arahku. Aku mengangguk, tampaknya terlihat terperinci sekali keantusiasanku untuk kembali ke kota melalui wajah merah pantulan dari sinar api unggun.

            “Dimana kai?” Berharap diberitahu.

            “Besok kai tunjukkan tempatnyo, kini kau makan sajo dulu, semoga besok kito cari makan lagi..” Kai meniup-niup babi panggang. Aku sudah semangat sekali mendengar hal tersebut, bergegas makan singkong yang berlumuran arang hitam.

            “Kau Aneh!!!” Ambong yang melihatku lahap makan singkong, berkomentar. Aku menghiraukan, tak mengerti maksud dari perkataanya.

***

            “Ambong! Cepat!...” Kai meneriaki.

            Kai sudah bersiap mengantarkan menuju ke kota. Aku tentu saja sangat berterima kasih, semangat. Ambong terllihat tidak bersemangat, lihatlah, beliau bahkan selalu tertinggal. Hanya kami bertiga yang berangkat. 

            Menarik napas panjang, Rana-Rani, Adi-Edi tunggulah kakakmu ini pulang. Kakak akan melindungi kalian semua.

            Tanah disini terasa sedikit basah, bahkan penuh lumpur. Seperti rawa-rawa. Aku jadi kurang yakin apakah kai benar-benar tahu dimana lokasi kota.

            “Jadi kau tak mau makan babi, sulung?” Ambong mensejajari saya berjalan, bertanya dengan tatapan aneh. Karena ini hari terakhir bertemu dengannya, saya lebih baik menjawab pertanyaannya yang satu ini.
            “Iya, di tempat kami babi dihentikan dimakan, Ambong” 

            “Oyoyoy, jadi begitu, kemudian orang-orang di suku kau memangnyo doyan makan kota?” Ambong bertanya lagi. Aku tidak mengerti apa maksudnya dengan makan kota, kembali menghiraukan. “Kalian orang-orang aneh” Ambong kembali berkata. Aku menggaruk kepala, bahkan beliau lebih aneh.

            Disini tempatnya juga sama, dikelilingi oleh binatang pengisap darah. Sial, kalau di kota saya bisa mencegah gigitan Vampir-Vampir kecil ini dengan lotion anti nyamuk. 

            Tanah semakin berlumpur.

            “Nah, itu kota-kotanyo sulung, tangkaplah” Kai menunjuk ke salah satu lumpur. Apa maksud dari kai? Tidak ada kota disini, hanya ada lumpur anyir dan kumpulan kata, Ooou, atau maksud mereka, kota adalah....

            “Kai, maksudnya binatang itu yang dinamakan kota?” Aku bertanya, menunjuk kumpulan katak.

            Kai mengangguk, “Tangkaplah sulung, katonyo kau semalam mau kota... Memangnyo untuk apo hewan-hewan itu?” Kai balik bertanya.

            Astaga naga, hancur sudah harapanku untuk pulang, jadi maksud mereka kota yakni katak. Itulah kenapa Ambong seringkali bilang kalau saya Aneh. Itulah kalau beda bahasa, satu kata beda arti. Menangis, kecewa, semangat barusan mencair sudah.

            “Lah, kenapo kau nangis, sulung? Katonyo kau mau kota, lah diantarkan malah nangis. Oyoyoy kai benar-benar tidak mengerti...” Kai menggaruk kepalanya yang sudah ditumbuhi banyak uban.

            “Iyo kai, memang si sulung ini asing nian” Ambong menambahi.

            Aku tidak tahu apa yang mesti dilakukan lagi. Sepertinya memang disini tidak ada jalan keluar. Namun, ada satu lagi pertanyaan yang boleh jadi akan membawaku pulang.

            “Kai, dikala pertama kali kalian menemukanku, lokasinya dimana?”, Berharap semoga mereka ingat.
            Kai dan Ambong saling menatap satu sama lain, mengangkat bahu, menjawab kompak “Entahh...”. Sepertinya mereka menyembunyikan sesuatu.

            “Kau tak mau menangkap kota-kota itu sulung? Kalau tidak mari kito pulang sajo..” Kai sudah berjalan tanpa mendengar jawabanku, Ambong menyusul, saya dengan berat hati ikut.

            Saat berjalan, tiba-tiba perut mendadak terasa mules. Aduhai mama, saya perlu ke kamar kecil. Setelah empat hari  hari, ini kali pertama saya ingin buang air besar. Bingung hendak kemana, kalau buang air kecil bisa diakali, namun tidak untuk ini. Melihat saya tanpak tidak nyaman, kai bertanya.

            “Kenapo kau sulung, kau sakit perut...?”

            Aku mengangguk.

            “Yo sudah cepatlah kau kesitu. Kai samo Ambong akan menunggu disini” Kai menunjuk diantara semak. Hanya saja tidak terlihat ada air disitu. Bagaimana caranya hendak BAB?

            “Kau gali sajo lobang, lantas duduk, terus dibersihkan pakai daun. Oyoyoy bagaimano kau ini, macam ini pun mesti dijelaskan, memang di suku kau tidak diajarkan..” Ambong nyerocos. Haduh, anak ini benar-benar ringan mulut. Aku belum pernah sama sekali melaksanakan hal menyerupai itu. Ah persetan, urusan BAB benar-benar tidak bisa ditahan, saya begegas, mencari ranting untuk menggali lobang, sembunyi di balik semak. Ini benar-benar memalukan, namun sekaligus lucu. Semoga saja ini tidak selamanya.

            Beberapa menit sehabis urusan jongkok di balik semak-semak selesai, ketika saya hendak kembali ke arah kai dan Ambong, terlihat ada perempuan di balik-balik pohon, diarah semak barusan, beliau yakni anak perempuan kemarin, beliau sedang tidak membawa anak panah, dan juga tidak bersama siapapun. Terlihat sedang mencari sesuatu. Penasaran, saya membuntutinya, berusaha berjalan mengendap-endap. Dari jarak beberapa puluh meter, tampaknya ia tengah menangkap kupu-kupu menggunakan daun yang diberi gagang ranting, sehabis sanggup ia memasukkan kedalam bambu.

            Ia menghentikan gerakan tangannya, “Kau anak kemarin malam bukan?” Berkata. Aku bingung, ia berbicara dengan siapa, sedangkan beliau tidak bersama siapapun. Namun melihatnya dari jauh, mengingatkanku kepada Rana-Rani.

            “Keluar sajo, tidak perlu takut..” Ia berkata lagi. Sepertinya ia memang menyadari akan keberadaanku. Menyerah, keluar dari balik pohon, menghampirinya dengan ragu-ragu dan canggung.
            “Hai...” Hanya itu awal pembukaan untuk menyapanya.

            Dia tidak menjawab, kembali menjalankan kegiatannya menangkap kupu-kupu. Meskipun sering berburu dengan keahlian memanah yang luar biasa, beliau tetaplah seorang anak perempuan yang masih kecil. Wanita misterius itu balasannya telah ku temukan. Suasanya senyap beberapa detik.

            “Aku tahu kau yang telah membunuh beruang ketika malam itu, terima kasih telah menyelamatkan nyawaku...” Sepertinya beliau kurang mengerti apa yang saya bicarakan, atau memang beliau orangnya pendiam? Entahlah. Anak perempuan kecil ini tubuhnya hanya setinggi daguku, berkulit putih dan rambut lurus, meskipun sedikit kusut.

            “Oh iya, saya boleh bertanya, apakah kau tahu dimana letak kota?” Kembali bertanya. Ia sedikit menghentikan gerakan, menatap wajahku dengan anehnya.

            “Kau mau menangkap kota? Untuk apo?” Dia mengambil kupu-kupu yang sudah di dapat, memasukkannya ke dalam bambu. Aku ingat, niscaya ia menganggap kota yakni katak, urung membahas. Masih ingin tau dengan dia, anak sekecil ini tinggal dimana? Dan sebelumnya saya tidak pernah melihat ia berkumpul di suku aye-aye.

            Tiba-tiba ia lari menjauh.

            “Oyoyoy disini kau ruponyo sulung, dari tadi kau dicari-cari...” Kai menoel bahuku dari belakang, saya menoleh, kembali melihat ke arah anak perempuan barusan, namun sudah hilang.

            “Alangkah jauhnyo pulo kau menggali lobang, bagaimano, sudah beres belum?” Ambong berkata sebal. Aku diam, tak menjawab. Kai mengajak kembali ke goa.

***

            Hari ini kai libur, untuk urusan berburu diserahkannya pada rombongan. Aku masih belum terlalu erat dengan mereka, tetap saja pikiran ingin segera pulang. Sebenarnya saya gampang bersosialisasi, tapi tidak dengan orang-orang disini yang aneh-aneh betul. Badan sudah tidak karuan dimana potongan bersihnya, lengket dan gatal-gatal, saya benar-benar sudah tidak tahan, ingin mandi. Semoga saja ada air di dekat sini, saya tak perduli meskipun itu sungai atau apapun.

            Sepertinya angan-angan dan impian kali ini terkabul, dikala saya tengah sibuk-sibuk menggaruk-garuk kulit yang gatal macam monyet, sambil memandangi ibu-ibu disini yang entah melaksanakan apa – sibuk menganyam dedaunan kering. Lalu si Ambong disuruh kai untuk mengambil air ke sungai, menyerahkan dua buah bambu sebesar lengan untuk wadahnya.

            “Ayo sulung, kau akan takjub jiko ngelihat sungainyo” Ambong mengajak. Aku tentu saja cepat berangkat. 

            Perjalanan cukup memakan waktu, sekitar setengah jam sudah terlewat, balasannya kami hingga ke sungai deras, jernih dan besar. Astaga, saya benar-benar tidak sabaran untuk mengempaskan badan ke dalamnya. Sedikit berlarian meninggalkan Ambong.

            “Oyoyoy kau semangat nian bertemu sungai, sulung. Memangnyo di tempat suku kau tak ado sungai semacam ini?” Ambong berkomentar. Aku tidak menghiraukan perkataanya, ingin secepatnya membasuh diri. Eitss, tunggu dulu, langkahku terhenti.

            “Nah, ngapo kau berhenti, tadi semangat nian bertemu ngan sungai..?” Lagi-lagi Ambong berkomentar. Langkahku terhenti alasannya yakni saya lupa kalau tidak bisa berenang, haduh bagaimana ini. Bi Dira, saya jadi teringat bi Dira, ia selalu menyiapkan air hangat, sabun, shampoo, pabila kami hendak mandi. Aku rindu rumah. Terduduk, niat untuk segera mandi menguap sudah. Ambong yang melihatku duduk, membisu sejenak, ikut duduk.

            “Kau kenapo? Rindu samo orang-orang suku kau, Yo?” Ambong bertanya. Meskipun cerewet, ambong itu baik, beliau juga kasihan dan perduli alasannya yakni saya tersesat. Namun beliau salah kalau saya hidup menyerupai suku mereka. Ini sudah kesekian harinya saya disini, dan tampaknya akan selamanya. Air mata sudah meleleh, tak sanggup membayangkannya.

            “Yo sudahlah sulung, jangan sedih. Kau sudah tinggal samo kami, kami sudah menganggap kau sebagai keluargo, dan kau juga boleh menganggap kami sebagai keluargo kau” Ambong menenangkan, ia benar, pertama kali disini, saya kira orang-orang pedalaman ini kejam dan menakutkan, ternyata tidak, mereka tetaplah menyerupai orang-orang pada umumnya, punya hati nurani dan empati. Aku harus bisa mendapatkan semua ini, mendapatkan hitamnya dunia yang sedang kurasakan. Berharap perkataan mama dulu benar, pabila ada malam, maka akan segera terbit pagi.

            Suara gemericiknya sungai terdengar deras, menerangkan kalau kau mesti hati-hati kalau ingin mandi disana. Burung elang satu-dua bertengger di atas kerikil besar, sedang istirahat mungkin. Di seberang sungai itu masih hutan, tak kusangka kalau di tengah hutan rimba begini ada sungai yang luar biasa indah. Kalau saja sungai ini berada di dekat kota, pastilah sudah jadi lokasi para wisatawan untuk berenang. Tapi ada satu lagi bunyi air, terperinci itu bukanlah bunyi hanyutan sungai, tapi itu bunyi air terjun.

            “Ambong, memangnya disana ada air terjun?” Jarang-jarang saya bertanya, kini saya harus bermetamorfosis erat dengan mereka. Bicara ihwal air terjun, saya jadi ingat hari itu, berusaha menepis ingatan, mengendalikan diri, melupakan.

            Ambong mengangguk “Iyo, tapi jangan pernah sesekali kau tiba kesano!” Suara Ambong tiba-tiba mendecit pelan. Memasang wajah serius. Kenapa? Aku bertanya lewat tatapan yang ingin tahu sekali.

            “Kareno disitu..... Ado sesosok menakutkan, io tinggal di goa samping air terjun. Baik suku kami ataupun suku pute tak ado yang berani ke situ, kami menyebut sosok itu dengan sebutan...” Ambong menelan ludah. “M-a-k A-b-e-m” Lantas berubah ekspresi wajah macam orang yang sangat ketakutan.

            Astaga, ada berbagai misteri disini, pertama suku pute, saya ingin tau suku pute itu menyerupai apa? Kedua, anak perempuan itu, darimana beliau berasal dan siapakah namanya? dan ini lagi, sesosok menakutkan? Siapa? Ah, hutan rimba memang penuh dengan misteri.

            Suara elang melengking dari atas, mungkin bahagia sudah mendapatkan buruan. Ambong berdiri, menghampiri sungai, menyendok air menggunakan bambu, lantas pribadi meminunya, saya tidak heran lagi, tidak akan bertanya alasan mereka tidak memasak air, namanya juga anak pedalaman, jangankan air, daging babi saja mereka tidak membakarnya dengan tepat matang.

            Ah iya, bukankah barusan saya kesini ingin mandi, kembali meluruskan niat, meletakkan bambu, mendekat ke sungai, melompat ke tengah di tempat berlinang, menciptakan air berkecipak ke atas. Segarnya, sensasi mandi di sungai berbeda sekali dibanding mandi di rumah, apalagi ini sudah sekian hari saya gres mandi. Aduhai mama, bodohnya aku, saya lupa kalau tidak bisa berenang, orang yang terlalu lama tidak bertemu air menciptakan ia gegabah ketika terjun ke sungai, macam aku, disini memang tepat di lokasi tidak derasnya, namun ternyata sungai ini dalam. Hanya menghitung waktu saya mulan menjerit “A..A..Ambong.... To..lo..ng...A.ku...” Susah payah berteriak. Ambong yang melihat berlagak santai, menepuk jidat, menggeleng. Meletakkan bambu, kemudian terjun ke sungai, cepat menyambar dan menyeret saya ke tepian.

            “Oyoyoy Sulung, memangnyo kau tidak biso berenang? Lalu di tempat suku kau tidak pernah berburu ikan dengan cara menyelam? Astago, suku kau memang aneh, bagaimano pulo anak laki-laki biso tumbuh semanjo kau? Anak laki itu mesti kuat, tidak manjo...” Ambong terus berceloteh. Aku yang hampir mati kesal mendengarnya berceloteh, ingin rasanya menimpuk bocah ini pakai batu. Aku agak sedikit tebatuk, sedikit tertelan air. Ambong betul-betul tidak mengerti bagaimana kehidupan orang modern, namun betul pula kata ambong, anak laki-laki dihentikan manja. Aku jadi aib mengingat saya yang begitu manja ini.

            Untung saja barusan Ambong menolong, kalau tidak, boleh jadi saya sudah berayun-ayun di terjang air yang deras itu. Aku melihat sisi hilir sungai yang deras, tidak terbayangkan bagaimana kalau tubuhku dihempaskan olehnya.

            Ambong mengambil bambunya dan bambu aku, mengisinya dengan air.

            “Ayo... Kita harus cepat kembali ke goa...”

            Aku berusaha melangkah ke darat, mengambil satu bambu di tangan Ambong. 

            Namun, selangkah-dua langkah kami meninggalkan sungai. Terlihat sesosok asing berjalan dari dalam hutan, menuju ke hulu sungai, Astaga, sosok apa itu? Kami terperanjat.

BERSAMBUNG....

Nantikan sambungan dari Novel Motivasi hidup 'Hitam' berikutnya. Dan nantikan pula update dongeng motivasi, renungan dan wangsit lainnya.

Profil penulis ada disini

Jika anda ingin selalu mengikuti update terbaru dari blog ini, silahkan berlangganan lewat email pada form sebelah. Jangan lupa menaruh komentar di bawah yah, tapi jangan melaksanakan SPAM. terima kasih ^_^

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "#3 Novel Motivasi Hidup Hitam Episode 4"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel