#1 Novel Motivasi Hitam Episode 1 Dan 2

#1 Novel Motivasi Hitam Episode 2 - Novel "Hitam" Saya buat untuk memotivasi orang-orang yang tengah dirundung masalah. Ada kata-kata motivasi yang saya selipkan di Novel ini.
kata motivasi yang saya selipkan di Novel  ini #1 Novel Motivasi Hitam Episode 1 dan 2
#1 Novel Motivasi Hitam Episode 2 Sumber Foto : www.memrise.com

Sebelum membaca #1 Novel Motivasi Hitam Episode 1 dan 2 berikut sinopsisnya :


Sulung, seorang anak remaja yang dilahirkan dari keluarga kaya, ia memiliki 4 orang Adik, Rana-Rani dan Adi-Edi, mereka berempat kembar dua-dua. Awalnya keluarga mereka sangatlah bahagia, serasi dan menyenangkan, Namun kisah itu tidaklah lama, kisah hidup mereka berakhir menjadi tidak menyenangkan, kedua orang-tuanya dibunuh oleh para bandit-bandit yang tidak diketahui siapa mereka. Hingga karenanya Sulung dan keempat adiknya Rana-Rani dan Edi-Edi menjadi Anak Yatim piatu, ketika itu mereka berusia 13, 10, dan 5 tahun, usia yang masih sangat memerlukan kasih sayang kedua orangtuanya.

            Beruntung ada paman –adik sang ayah- yang mau merawat mereka, dibantu oleh tante Ratna – istri si paman- mereka diasuh dengan penuh kasih sayang.

            Hanya saja si Sulung suatu hari diculik oleh para bandit-bandit itu dan dibuang di dalam hutan Rimba. Sebelumnya bandit-bandit itu menyampaikan kalau yang menyuruh mereka ialah Paman Leo, terlihat dari Video yang mereka perlihatkan kepada Sulung. Betapa murka dan kesal-lah si Sulung melihat hal itu, namun apa daya, beliau tidak bisa kemana-mana, beliau tersesat di dalam hutam Rimba.

            Di dalam Hutan Rimba itu Sulung diselamatkan oleh suku aye-aye, di situlah sulung mencar ilmu cara hidup, mencar ilmu untuk tumbuh menjadi kuat, dan mencar ilmu perihal bela diri dan berburu. Hal itu dijadikan kesempatan bagi Sulung untuk membalas dendam kalau ia bisa keluar dari Rimba. Namun untuk keluar dari hutan itu tidaklah mudah, bertahun-tahun Sulung terjebak bersama orang-orang pedalaman, bertahun-tahun itu pula Sulung mengenal kekeluargaan, persahabatan dan cintanya.

            Di lain cerita, Rana-Rani ternyata juga sudah dibuang oleh bandit-bandit itu, Sulung mengetahuinya ketika ia sudah kembali ke kota, melihat Adi-Edi yang mengamen dan Rana-Rani yang menjadi penyanyi di diskotik. 

            Di selesai kisah ternyata bukan Paman Leo yang menjadi pelaku kejahatan, itu semua fitnah. Pelakunya sendiri ialah adik dari mamanya Sulung, lantaran mamanya iri dan punya dendam kepada Suami sang kakak.

            Cerita ini akan penuh teka-teki dan perihal pelajaran kehidupan.


BERIKUT  #1 Novel Motivasi Hitam Episode 2



Aku Benci Hitam
           
            “Bisakah kalian sedikit lebih tenang!!” Aku berseru sedikit sebal ke arah Rana-Rani yang tengah asyik berkaraoke, menganggu konsentrasi dalam belajar. Mereka tidak menghiraukan seruanku, kembali memperbesar Volume bunyi TV, memegang Mickrofon sekaligus joget-joget. Dua adik kembarku itu memang hobi sekali bernyanyi, lihatlah rambut panjang hitam mereka yang terurai, sengaja dikibas-kibaskan menggandakan gaya penyanyi di TV. Aku mengalah, membiarkan mereka asyik dengan kesibukannya.

            Udara terasa semakin gerah, saya mengambil remote, menyalahkan AC. Sekarang pukul 02 siang, matahari sedang bersinar terang di luar, memberi efek panas menjalar kemana-mana. Terdengar bunyi tertawa riang dari adik bungsuku di bawah belakang rumah, terihat dari dinding beling atas sini. Bi Dira selalu mengawasi mereka berdua. Dalam keluarga kami hanya saya yang tidak memiliki kembaran, adik bungsuku yang gres berusia 5 tahun bahkan hampir tak bisa dibedakan, hanya tahi lalat di ujung alis kananlah pembedanya, yang berjulukan Edi, sedangkan yang tidak memiliki tahi lalat berjulukan Adi. Sedangkan Rana-Rani hanya beda tinggi, kau tidak akan bisa membedakan mereka berdua jikalau dijauhkan.

            “Mama Pulang!!” Suara mama berseru dari bawah, mendengar hal itu, adikku Rana-Rani menghentikan karaokenya, bergegas berlarian turun ke bawah, melewati anak tangga. Aku mengambil remote TV, mematikan TV yang masih menyalah, ikut berjalan ke bawah menemui mama.

            “Hai sayang!!” Mama tersenyum lebar, merentangkan kedua tangannya, bersiap memeluk Rana-Rani yang tengah berlarian menemuinya. Kedua adikku berseru riang menyambut mama. Aku berjalan santai, menyium tangan mama, saliman. Mama mengecup keningku.

            “Tolong jangan perlakukan saya menyerupai bocah, ma.. Malu aku”, Aku membalas kecupan mama dengan nada jengkel. Mama hanya nyengir, mengucek rambutku.

            “Kok mama pulangnya cepat?” Rani bertanya.

            Ayah dan mama bekerja di perusahaan kakek, mereka selalu berpakaian rapi setiap kali berangkat, saya tidak tahu mereka berprofesi sebagai apa, di umurku 13 tahun ini, saya masih belum mengerti jabatan-jabatan dalam sebuah perusahaan, yang saya tahu mereka hanyalah bekerja, itu saja.

            “Pekerjaanya sudah beres, lagian mama kangen sama belum dewasa mama”, mama lagi-lagi mencium kening Rana-Rani, “Adi-Edi kemana?” mama terdiam ke dalam, tidak melihat si kembar Adi-Edi.

            “Lagi berenang di belakang” Aku menjawab.

            Tidak lama saya menyampaikan itu, Adi-Edi sudah masuk ke rumah mengenakan handuk, melihat ada mama disitu, mereka bergegas berlarian ingin memeluk mamak. Anak yang paling bungsu selalu saja yang paling dimanja dalam setiap rumah.

            “Mari sini!” mama menuju dingklik di ruang tamu, “Mama punya hadiah buat kalian”

            Kami mengikuti mama berjalan. Rana-Rani sudah tidak sabar ingin tahu apa hadiahnya, saya juga penasaran, kira-kira mama mau memberi kami hadiah apa? Bi Dira masih sibuk menaburkan bedak ke tubuh Adi dan Edi, kelihatan repot sekali ketika ia hendak memakaikan baju ke dua bocah itu.

            “Biarkan mereka pakai baju sendiri bi Dira”, mama memberi tahu.

            Bibi Dira sudah kami anggap keluarga sendiri, ia sudah bekerja disini jauh sebelum saya lahir, itu kata Mama. Umurnya mungkin sekitar 50 tahunan.

            “Tak apalah non, mereka masih kecil ini...” Bi Dira tetap mengerjakan tugasnya.

            “Mama barusan ingin memberi hadiah apa?” Rani yang dari tadi sudah duduk rapi di dekat mama, bertanya. Aku juga tak sabaran ingin melihatnya, mama merogoh tas hitam kecilnya. Mengeluarkan sesuatu.

            “Ini ada kalung untuk kalian berlima, masing-masing mendapatkan 1 kalung...” mama menyodorkan kalung berwarna hitam, dengan ujung mainanya membentuk segitiga hitam, ada satu segitiga hitam yang paling besar. Aku tidak tahu apakah ada arti di balik kalung itu, tapi saya mendengus kecewa ketika melihat benda tesebut. Astaga, saya pikir mama akan menyampaikan benda atau sesuatu yang hebat, ternyata hanya kalung biasa, lebih-lebih berwarna hitam, saya benci hitam. Apa hebatnya coba kalung itu?

            “YEIYYY, KALUNG!!! AKU SUKA KALUNG!!” Rana-Rani berseru riang kompak. Adi-Edi juga tidak keberatan menerimanya.

            “Ini untuk anak tampan mama, si Sulung...” Mama menyodorkan kalung segitiga hitam yang paling besar. Aku menggeleng, bilang kalau tidak suka. Benar-benar tidak ada hal menarik dari kalung itu.

            “Kau belum tahu makna dibalik kalung ini sulung...” Mama tersenyum melihat saya menolak, rambutnya yang hanya sepundak itu menciptakan mama memiliki aura keibuan, ibu karier yang hebat. Aku tetap menggeleng, menolak.

            “Hanya ada 5 kalung menyerupai ini di dunia, mama sengaja membuatnya untuk kalian, kalau ...”

            “Kalung ini terlalu besar untuk kami, mama...”, Adi-Edi terdiam melihat kalung yang mereka pakai kebesaran. Kami semua tertawa.

            “Simpan saja dulu sayang, kalung itu bisa digunakan ketika kalian sudah besar nanti” mamak mengucek rambut Adi-Edi. “Sampai kemana pembicaraan mama barusan?”

            “Hanya ada 5 kalung ini di dunia” saya menjawab.

            “Ah iya, mama sengaja menyuruh tukang kalung untuk menciptakan kalung ini, Istimewa untuk kalian, maknanya kalian cari sendiri nanti. Ini PR untuk kalian..” mama menghentikan pembicaraan. Kami yang sudah khusu’ mendengarkan kecewa. Ah Mama selalu saja memberi teka-teki.

            Sudah tidak terhitung berapa kali mama menyampaikan Teka-Teki untuk kami, salah satunya ketika saya berumur 10 tahun, saya ingat persis teka-teki mama yang diberikan waktu itu ...

            “Sulungg, kemari nak...!!” Mama memanggil dari depan TV.

            Aku yang dari tadi asyik bermain dengan Rana-Rani yang waktu itu masih berusia 7 tahun, menghampiri.

            “Mama ada uang 1000 Rupiah, tolong kau beliin minyak, wortel, dan gandum yah...”  mama menyodorkan uang 1000 rupiah lembaran. Entah apa yang ada di pikiran mama, meskipun usiaku ketika itu masih 10, saya sudah mengerti bahwa uang 1000 rupiah tidak akan bisa membeli semua yang mama minta, bahkan tak mungkin bisa membeli salah satu darinya. Sekarang diumur 13 tahun ini, karenanya saya paham ternyata uang 1000 rupiah memang bisa mendapatkan gandum, minyak dan wortel. Caranya, kau hanya cukup membeli bakwan, maka ketiganya akan didapatkan.

            Mama memang unik dalam medidik kami, ia berusaha biar semua anak-anaknya sanggup berpikir secara cerdas. Itulah sebabnya di usia 5 tahun itu, Adi-Edi sudah bisa menyusun rubik dengan cepat, dan hapal perkalian 1 hingga 5 di luar kepala, mungkin itulah cara mama biar otak kami terus mencair.

            “Ehh, lagi pada ngumpul!!!” Ayah gres pulang, tersenyum riang ke arah kami. Tanpa melirik kedua kalinya, keempat adik-adikku eksklusif berlarian hendak memeluk, serasa satu tahun tidak pernah ketemu saja, saya menggeleng melihat perangai mereka.

            “Permisi nyonya, saya mau mandi dulu!!” bi Dira meminta izin, mama mengangguk mempersilahkan.

            “Ayah punya hadiah buat kami, gak?” Edi bertanya, bilang kalau mama barusan memberi kami kalung, juga mengadu kalau kak ‘sulung’ menolak dukungan mama lantaran warna kalungnya hitam.

            “Sepertinya mama punya teka-teki lagi buat kalian” Ayah melirik ke arah mama, mengangkat kedua alisnya, mama menyengir.

***

            “Seharusnya jalan-jalan menyerupai ini sering dilakukan, Ayah” saya mengutarakan kesenangan. Maksudku, kami jarang sekali pergi tamasya satu keluarga menyerupai ini, lantaran masing-masing dari ayah dan mama punya kesibukan, bahkan terlalu sibuk. Namun, meskipun begitu, ayah dan mama tak pernah menomor duakan kasih-sayangnya kepada kami.

            Ini hari minggu, ayah sengaja mengajak kami jalan-jalan, untuk merefresh pikiran, apalagi aku, Rana dan Rani sebentar lagi hendak menghadapi ujian. Aku ujian untuk melaju ke SMA, sedangkan Rana-Rani hendak menghadapi ujian biar bisa lulus SD, sangat diharapkan penyegaran pikiran biar tidak stress. Rana-Rani sudah menggunakan kalung dukungan mama kemarin, mereka terlihat suka sekali dengan kalung itu. Adi dan Edi belum menggunakan kalungnya, lantaran kalung itu terlalu besar untuk mereka. Aku, bahkan melirik kalung itu saja tidak suka, lagipula jikalau mama ingin memberi kalung, mengapa tidak berwarna lain selain hitam, dan juga pink (Tentu saja anak laki-laki tidak menyukai warna merah muda itu), bukankah mama tahu kalau saya tidak suka warna hitam?

            Mobil kami sudah meninggalkan perkotaan, pohon-pohon hijau mulai terlihat, berselang-seling dengan rumah warga desa yang kebanyakan terbuat dari papan. Aku membuka jendela mobil, angin segar mengerayap ke dalam, hidung tampaknya senang sekali menghirup udara itu, luar biasa, oksigen disini benar-benar menciptakan nyaman. Tidak menyerupai di kota, asap hitam, debu berkeliaran, dan bunyi berisiknya mesin selalu saja menganggu.  Rana dan rani menyanyikan lagu “Naik-naik ke puncak gunung”, padahal kita tidak sedang menuju puncak, saya berkomentar. Adi-Edi sudah tertidur pulas, bunyi halusnya mesin, dan dibelai oleh pendingin kendaraan beroda empat sanggup menciptakan anak sekecil mereka cepat tidak sadarkan diri. Aku sebaliknya, perut mulai terasa mual, mabuk perjalanan.

            “Kau mabuk, Sulung?” Ayah bertanya, sedikit melirik ke arahku yang duduk di samping, sekaligus memperhatikan jalan, sedikit melambatkan laju mobil. Aku mengangguk.

            “Payah, padahal gres satu jam perjalanan” Ayah terkekeh. Mama yang mendengar ikut tertawa. 

            Perkampungan juga sudah terlewati, kini benar-benar memasuki hutan rimbun, terlihat satu-dua ekor primata bergelantungan bebas di atas sana, menyenangkan melihat mereka, menciptakan rasa mual sedikit meredah.

            Saat itulah, ketika kami sedang bersenang-senang, sedang tertawa, bernyanyi riang, bersiap untuk main basah-basahan di air terjun, bersiap mengambil foto-foto kenangan, tiba-tiba ayah menginjak rem mendadak, berdecitt, menciptakan kami kaget bukan kepalang. Di depan sana, ada 4 motor menghadang di tengah jalan, beranggotakan 8 orang yang menggunakan epilog kepala berwarna hitam.

            Mobil tidak bisa kembali jalan, lantaran selain mereka menghadang menggunakan motor, mereka juga menghadang menggunakan kayu-kayu besar berjejer di tengah jalan. Keadaan lengah, suasana tegang, rasa mual yang sempat menghampiri barusan enyah sudah, Adi-Edi terbangun dari tidur nyenyaknya, Rana-Rani sudah memuluk erat mama. 8 Orang itu menghampiri, masing-masing membawa pemukul kasti dan samurai. Ayah menelan ludah, keringat tiba-tiba keluar dari pori-pori kepalanya, sama halnya dengan saya dan mama. Ayah sempat mundur, berusaha memutar kemudi, tapi apa daya, ternyata di belakang 4 orang juga sudah menghadang. Kami dikepung.

            “Siapa Mereka..?” Ayah menelan ludah, berkata serak. Mama sudah sibuk menelpon sanak saudara dan polisi, mulutnya tidak pernah berhenti berbicara. 

            “Halo... Halo.. Tolong Kami.. Tolong kami...”

            Ayah berpikir cepat, kemudi dibanting ke samping memasuki hutan, sedikit oleng, menyelip diantara batang pohon. Sial, perjuangan tersebut percuma, kendaraan beroda empat tak bisa terjalu jauh berjalan lantaran terhimpit oleh pohon, celahnya tidak cukup untuk laju mobil. Ayah bergegas menyuruh kami untuk keluar dari  mobil.

            “Keluarrr... Cepat Keluarrr...!!” Ayah membukakan pintu mobil, berseru khawatir. Kami bergegas melangkah keluar, mama menarik kami semua biar secepatnya lari dari sini. Orang-orang itu terus mengejar berderu dengan ganasnya. Apa gotong royong tujuan mereka?

            “Ayoo lari sayangg...” Mama panik sekali. Ayah mengendong Adi dibelakangnya, dan Edi di depan. Namun sayang, kami terlalu lambat berlari dibanding mereka. Hanya dalam hitungan menit, kami sudah terkepung. Ketegangan semakin menjadi, saya memeluk Rana-Rani, Ayah semakin erat mengendong Adi-Edi, tangan sebelahnya erat memegang tangan mama.

            “Mau apa kaliann?” Ayah berkata serak, pelipisnya bermandikan keringat, sama halnya dengan mama dan aku. Keempat adikku menangis ketakutan.

            “Kau tidak perlu tahu maksud kami. Sekarang kalian ucapkan selamat tinggal pada dunia ini...” salah satu dari mereka menjawab dengan nada bunyi berat, matanya melotot kejam. 

            Ayah menurunkan Adi-Edi, menyuruh mereka berlindung di belakang, mencoba menghadapi bandit-bandit itu. Ketika ayah maju tanpa berkata lagi, tongkat kasti sudah berdebamm menghampiri kepala ayah, darah menyeruak dari kulit dan telinganya. Ayah terjatuh tak berdaya. Tak puas, mereka memenggal kepala ayah, menciptakan kepala terpisah dari badan, darah berhamburan keluar.

            “AYAAAAHHHH!!!!!!” Kami berteriak kencang melihat kejadian itu, air mata sudah tak terbendung lagi, menyeruak berhamburan.

            “TOLOOOONGGG!!!” Mama berteriak, kami juga ikut berteriak, “TOLOONGGG!!! TOLOONNGGG!”. Siapa saja Tolong kami. 

            Percuma, disitu sunyi sepi, tak ada satupun orang. Kumpulan mafia semakin merapat. Sekarang mama menyuruh kami untuk berlindung di belakangnya. Kami tak bisa lari, mereka berkeliling mengepung. Tak bisa dijelaskan lagi apa perasaan kami waktu itu, ketakutan yang amat sangat dan kesedihan melihat ayah terkapar disana, menyatu. Sekujur tubuh sudah gemetaran, saya menginjak satu kerikil besar, tanpa berpikir lagi, kerikil itu kuambil, dengan sekuat tenaga melayangkannya ke salah satu kepala bandit. Melihat orang yang kita cintai dibunuh secara tragis, akan menciptakan orang pengecut sanggup bertidak secara brutal, meskipun saya masih terbilang anak kecil, saya akan melaksanakan apapun untuk membalas mereka sekaligus melindungi mama dan adik-adikku. Rasakan itu, Rasakan itu brengsek..

            Lemparan barusan Lumayan menciptakan salah satu dari mereka kesakitan, tampaknya luka sudah bersarang di kepalanya. Sayangnya, itu tidak menciptakan beliau senang, matanya membesar memperlihatkan kemarahan.

            “Aku mohon maafkan ia” mama melebarkan tangan, berdiri di depanku. “Silahkan kalian bunuh aku, tapi tolonggg bebaskan anak-anakku” bunyi mama terisak-isak, memohon. 

            Yang barusan saya lempari pakai kerikil membuka tutup kepala, terlihat luka kecil di jidatnya, “Sialan kau udang kecil, kau akan meratapi hal ini” sekejap pedang dilayangkan ke leher mama. Darah mengucur deras, kepala dan tubuh mama terpisah.

            “TIDDAAAAKK!!” Aku berteriak kencang bersamaan dengan teriakan keempat adikku. Tak puas dengan itu, beliau juga memotong-motong tubuh mama.

            Mereka benar-benar iblis tak berperasaan. Mereka tertawa puas. Tanpa disadari saya melempari mereka menggunakan ranting, kerikil, daun, tanah, apapun yang ada di dekat kami. Keempat adik kembarku juga melaksanakan hal yang sama, tangisan tak pernah berhenti dari ekspresi mereka. Jahanam, mereka semua jahanam.

            Lemparan itu tentu saja gampang mereka hindari. Beberapa menit berlalu, ketika darah dari tubuh mama dan ayah tidak lagi mengalir, tampaknya kami yang akan dibunuh. 

            Sebetulnya saya sudah siap untuk menyusul ayah dan mama, tapi demi apapun juga, saya tidak siap jikalau adik-adikku ikut menjadi korban. Dibenak selalu terpikir “siapa mereka?” apa motif mereka melaksanakan ini semua? Ayah, mama, wajah mereka selalu terbayang-bayang. 

            Mataku merah menahan tangis sekaligus kemarahan. Masing-masing dari mereka sudah siap menghunuskan pedang dan tongkatnya, ingin segera menuntaskan tujuan. Aku sudah memeluk keempat adikku, tiba-tiba bunyi kendaraan beroda empat polisi terdengar dari kejauhan, menyadari hal itu rombongan mafia berderu hendak lari, tak ada nafsu lagi untuk membunuh kami, harus segera pergi atau mereka akan tertangkap.

***

            Bi Dira dan Paman Leo –Adik ayah—Cepat menghampiri, memeluk erat kami dan ikut menangis. Aku terpaku ketika itu, kelam, dunia terasa kelam. Tak ada kata yang bisa keluar, tak tahu apa yang mesti dilakukan, ingin meronta, tapi meronta kepada siapa? Menghampiri mayit ayah dan ibu, tanganku sudah berlumuran darah, bau anyir menyergap hidung. Menggenggam dan meraih tanah bercampur darah, pikiran membatin “AKU AKAN MEMBALAS DENDAM, PASTI... AKU AKAN MEMBALAS DENDAAAAAMMM”

            Polisi mulai mengevakuasi mayit ayah dan mama. Keempat adik-adikku trauma, menangis berkepanjangan. Bandit-Bandi itu masih dikejar polisi.

            “Kalian tidak apa kan sayang?” Bi Dira menanyai keempat adikku, yang bertanya menangis. Bi Dira kembali memeluk mereka “Tenang, ada bibi disini.. Tenang ya sayanggg” Ikut menangis, menenangkan.

            “Laknat, siapa yang kejam melaksanakan ini semua” Paman Leo tak sanggup melihat hal itu. “Sulung, siapa pelaku ini semua? Apakah kau kenal salah satu dari mereka?” Paman Leo bertanya, suaranya bergetar. Aku menggeleng, masih terpaku. 

            Melihat ke arah lumpuran darah, terlihat sesuatu disitu, menghampiri, mengambil. Kalung, ini kalung dukungan mama kemarin, erat sekali kugenggam kalungnya, mata eksklusif terpejam. Tak kusangka ternyata ini hadiah terakhir dari mama.

            Suasana dihutan itu semakin ramai, reporter dari banyak sekali Televisi, Detective, dan orang-orang lainnya memenuhi hutan. Sekali dua kali salah satu dari mereka yang menggunakan microfon, ditemani orang yang memegang kamera, bertanya kepadaku bagaimana detail kejadiannya. Aku menghiraukan, membatin ‘bahkan meskipun saya bicara, mereka tak akan membantu”.

            “Tolong kalian minggir sebentar. Mereka masih trauma” Bi Dira membentak, sedikit menyingkirkan kerumunan wartawan, reporter dan kameramen. Beringsut mengajak kami memasuki mobil.

            Kejadian barusan seakan mimpi, bagaimana tidak, beberapa menit yang kemudian kami masih bersenang-senang, bernyanyi-nyanyi, tertawa riang dengan ayah dan mama, dan BIMSALABIM lantas kejadian itu berubah 180 derajat, tak sanggup kupercaya mama dan ayah telah dibunuh sekejam itu. 

            Wajah mafia itu selalu terekam di pikiran. Pembunuhan itu selalu memenuhi pikiran. Aku melihat lamat-lamat kalung dukungan mama, air mata menetes. Kenapa, kenapa semua ini terjadi? Kenapa dunia tiba-tiba bermetamorfosis hitam? AKU BENCI HITAM.

EPISODE 2
2. Dunia Menjadi Hitam

            ‘Rumah kolam istana’, itu yang semua orang katakan, penduduk disini juga sudah tahu kalau rumah “Mansyur dan Eli” ialah rumah terindah di kota  ini. Namun tidak lagi, bukan lantaran rumah kami rusak, namun lantaran pikiranku yang kacau dan selalu terngiang-ngian perihal kejadian itu.

            Putihnya cat dinding rumah kami hitam bagiku, terangnya lampu-lampu di rumah ini gelap bagiku.
            
Keesokan harinya, Jenazah ayah dan mama dimakamkan. Rumah kami disesaki oleh koleh, teman-teman sekolah dan tetangga-tetangga yang tiba ngelayat. Tangisan saya dan adik-adikku pecah ketika dua sosok hero kami terbujur kaku dibungkus kain putih, dan ditelan oleh bumi. Teriknya matahari, bagiku mendung, Bi Dira dan, Tante Ratna dan Paman Leo lah yang selalu menenangkan kami. Ditengah rasa sedih menyerupai ini, wajah salah satu mafia itu seringkali muncul, menciptakan kebencian di hati kian membara.

            Bi Dira menyiapkan air hangat ketika pulang dari pemakaman, biar bisa menenangkan pikiran. Adi-Edi dibantu Bi Dira untuk mandi, Rana-Rani berendam sendiri, tidak mau ditemani, meskipun tante Ratna –Istri Paman Leo- memperlihatkan untuk menemani. Memilukan melihat wajah-wajah mereka yang dulu sering menghiasi, tiba-tiba hilang direngut oleh bandit-bandit jahanam itu. Diusia kecil mereka, seharusnya kasih sayang orangtua sangatlah diperlukan.

            Berjam-jam saya menghabiskan waktu di kamar mandi, berendam air hangat, mencoba menghilangkan semua kedukaan, mencoba mengusir ketakutan, mencoba melupakan kejadian itu. Aku hampir tertidur, dan gres disadari sesudah bi Dira mengetuk pintu, “Den Sulung. mandinya sudah selesai belum? Makan siang dulu den!!”, bersuara dengan pelan.

            “Ia bi, bentar lagi!!”, saya menjawab singkat dan datar. Sama sekali tak agresif makan siang. Air hangat menggerumuni kulit, cukup menenangkan tubuh. Aku kembali memejamkan mata, menikmati kehangatan air.

            Suara getar HP di meja kamar mandi menganggu kenyamanan, saya menghiraukan, berharap supaya si penelepon menyerah, siapa pula yang menelpon? Perasaan saya tidak pernah mengembangkan nomor ke teman-teman di kelas atau keluarga lainnya, kecuali keluar-keluarga dekat. Handphone mati sejenak, Sial, sesudah beberapa lama dihiraukan, si penelpon ternyata tidak juga menyerah. Kalau begitu saya saja yang menyerah, kuharap telepon tersebut benar-benar berisi pesan yang penting. Berdiri, mengambil handuk, membalutkannya ke tubuh, berjalan malas, melihat nomornya, baru, belum pernah tersimpan, dan saya tidak pernah mengenal nomor siapa itu. Mengangkatnya.

            “Halo sayang, Bocah manis, bagaimana kabar kamu?”, Suara kasar yang mencoba berbicara halus terdengar di ujung Handphone.

            “Siapa ini?” Aku bertanya langsung, tak mau berbasa-basi, ingin mendengar cepat tujuannya menelepon, bukan apa, saya benar-benar sedang berduka, tidak agresif untuk berbicara banyak.

            “Ah, kau ternyata lupa dengan bunyi paman ini. Oh, atau mungkin speaker handphone sanggup merubah bunyi seseorang menjadi berbedah, yah.” Dia tertawa kecil. Aku diam, sama sekali tak bisa menebak siapa itu.

            “Sambil kau menebak-nebak bunyi siapa ini. Paman ingin mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya kedua orangtua kalian. Kalian yang kuat,yah” Suara itu berusaha untuk simpati, semakin dirubah menjadi lembut, namun masih terdengar sangat berat.

            “Nah, bagaimana sekarang? Kau sudah mengingat bunyi siapa ini?” Ia bertanya sekali lagi. Aku diam, lebih tepatnya tidak tahu sekaligus malas untuk bermain teka-teki, cukup hanya mama yang boleh memberiku teka-teki.

            “Kalau kau tidak ingat dengan bunyi seksi ini, pastilah kami ingat dengan paman tampan yang kau lempari jidatnya pakai kerikil di hari itu, bukan?”, Ia akal-akalan tertawa kecil lagi, sedikit mengeluh, “Kepala paman hingga bocor karenanya..”.

            Hanya satu orang yang saya lempari, tepatnya waktu kejadian pembunuhan mama dan ayah, beliau ialah bajinagn itu, sekujur tubuhku gemetar menahan takut, sekaligus menahan dendam mendengar hal itu.

            “Setan.. Kau, kau.. Bajingan. Kembalikan-kembalikan kedua orangtuaku, kembalikan mereka..”, Suaraku bergetar. 

            Suara tertawa seakan tanpa dosa masih terdengar dari seberang sana.

            “Tenang saja adik manis, kau dan adik-adikmu itu akan segera menyusul kedua orangtua kalian. Oh iya, dan kami ingin mengambil sesuatu dari kalian, sesuatu yang sangat berharga..”

            “Jangan pernah sesekali kau...”

            Telponnya ditutup, memutus perkataan emosiku. Bi Dira mengetuk dari luar, khawatir melihat saya yang terlalu lama mengurung diri di kamar mandi.

            “Den sulung...? Den sulung sudah selesai..?” 

            “Ia bi..” , Aku menjawab pelan. Masih menahan gemetar sesudah sanggup telepon dari mafia itu. Apa? Apa gotong royong tujuan mereka, apa maksud dari yang barusan beliau katakan?

***

            Untunglah paman Leo dan tante Ratna mau mengurus saya dan keempat adik-adikku. Dari dulu paman Leo memang sudah dekat dengan kami, tingkah laku, sifat dan caranya bicara persis menyerupai ayah. Sedangkan tante Ratna lembut dan canitk menyerupai mama, wajah keibuannya dibalut oleh hijab yang tidak pernah saya lihat dilepas olehnya. Sudah dua tahun tante Ratna dan om Leo hidup berumah tangga. Sekarang perut kak Ratna gres terlihat agak membuncit, om Leo antusias sekali membicarakan kehamilan istrinya pada ayah dulu. Ayah dan Paman Leo ialah adik-kakak yang cocok sekali.

            “Sayang.. Makan dulu ya, dari kemarin kau belum makan. Lihat deh, tante Ratna sudah menciptakan masakan yang yummy banget, khusus buat kalian”, tante Ratna tersenyum, membawakan kuliner yang menggugah selera ke kasurku. Aku membalas senyuman, berterima kasih.

            “Adik-Adik Sudah makan, tan?”, Aku meraih makanan. Tante Ratna mengangguk, bilang kalau mereka sudah tidur siang.

            “Sampai kapan? Sampai kapan tante Ratna dan Om Leo akan menemani kami?” Aku melihat ke arah goreng ayam, dan telur balado di piring.

            Tante Ratna membisu sejenak, melihat saya lamat-lamat “Sampai kalian tumbuh dewasa, hingga kalian bisa mengurus hidup masing-masing”, Tante Ratna tersenyum, mengelus kepalaku. “Dengarkan tante sayang, kalian ialah anak dari abang paman Leo, adi itu berarti kalian semua ialah anak dari tante juga. Tante dan paman berjanji tak akan meninggalkan kalian. Tante janji.

            “Nah sekarang, kau makan dulu nasinya, biar tante bisa semangat masak lagu untuk kalian”.

            Aku mengangguk, menghargai, berusaha menelan nasi, meskipun tak bernafsu.

            Tante Ratna meraih remote, menyalahkan TV, siaran isu siang eksklusif muncul menghiasi layar. Aku menghentikan makan, ikut montonton.

            “Kasus pembunuhan orang terkaya di kota pagaralam, Pak Mansyur dan Bu Eli, masih belum terpecahkan. Sampai sekarang, pembunuhnya pun belum ditemukan,  sampai kini juga belum dipastikan apa motif dari pembunuhan tersebut. Polisi masih...”

            Tante Ratna menekan Remote, mengganti siaran, tak ingin saya terganggu. Menuju ke stasiun yang memunculkan film kartun. Aku diam, tak berkomentar.

***

            Sudah 4 hari semenjak mama dan ayah dimakamkan, rasa sedih tentu saja masih menggelayut. Semalam gres selesai pembacaan do’a yang didatangi oleh keluarga, kolega dan tetangga-tetangga sebelah. Bi dira dan asisten-asisten rumah tangga lainnya sibuk membersihkan bekas-bekas semalam.

            Sedikit ada perubahan hari ini, Adi-Edi kini sudah kembali ceria lagi Melihat ada banyak mainan gres yang dikasih oleh paman Leo. Anak kecil menyerupai mereka tentu saja belum terlalu mengerti definisi dari kematian. Rana-Rani juga sudah mulai kembali ceria, mereka berdua dan tante Ratna sedang asyik berkaraoke.

            Aku sudah duduk di depan rumah, hendak bersiap untuk berangkat memancing. Bersemedi di dalam rumah beberapa hari ini menciptakan suntuk, inspirasi anggun untuk menghilangkan kesedian dengan memancing. Sekarang tengah menunggu paman leo kembali dari kepergiannya membeli pancing dan peralatannya. Tidak berapa lama menunggu, paman Leo sudah kembali, sileut tubuhnya rapai diterpa sinar matahari pagi, menyerupai orang kantoran, persis menyerupai ayah dulu. Lagi-lagi saya teringat ayah, saya merindukan mereka.
            “Kau sudah siap, sulung..?”

            Aku mengangguk. Paman Leo meneriaki tante Ratna dan adik-adikku yang di dalam biar segera berkemas.

            Bi Dira juga ikut dalam pemancingan ini, untuk menyiapkan keperluan-keperluan. Sekarang pukul 08, sinar matahari sudah terasa panas saja sepagi ini.

            “Kalian tidak mau masuk?”, Paman Leo menanyai Adi-Edi yang tengah terpaku di depan mobil, susah untuk mengajak mereka masuk, tampaknya mereka stress berat akan kejadian itu. Mereka berdua menggeleng.

            “Tak apa sayang, kita kan mau memancing di dekat sini, tidak jauh kok..”, Tante Ratna berbicara halus, membujuk mereka. Adi-Edi berpikir sejenak, berdasarkan dan mau ikut. Perjalanan pun karenanya bisa dimulai.

            15 Menit, kami karenanya hingga di kolam pemancingan, ada sekitar 5 kolam besar disitu yang dikerumuni oleh banyak pemancing. Semua mata tertuju pada kedatangan kami. Terdengar sayup-sayup dari pembicaraan dua tiga orang pemancing disitu.

            “Itu kan anaknya-anaknya pak Mansyur dan Bu Eli yang dibunuh secara sadis itu..” Ibu-ibu yang menemani keluarganya memancing berbicara dengan temannya, tampaknya isu itu benar-benar sudah menjalar kemana-maa.

            “Iya, yang sering disorot di TV” Ibu-Ibu yang satunya ikut membahas.

            “Kasihan sekali mereka. Masih kecil begitu sudah ditinggal kedua orangtuanya.”

            “Tapi mereka lucu-lucu sekali ya, menggemaskan. Kaprikornus kepengen punya anak menyerupai mereka.... Ayah kita nanti bikin anak menyerupai mereka juga dong”, ibu itu mencolek suaminya yang tengah duduk menjaga pancing.

            “Jangan berisik...”, Suaminya mengomel.

            Tak hanya disitu yang membicarakan kami, kelompok lainnya juga berbicara akan keprihatinan mereka. Paman leo menghiraukan, menentukan daerah yang lebih sunyi untuk memancing. Adi-Edi sudah larian antusias ingin memancing. Bi Dira duduk memperhatikan di bawah tenda, menjaga kuliner yang barusan kami bawa. Seiring waktu sorot mata dan pembicaraan perihal kami sudah meredah, masing-masing kembali fokus dengan pancingnya.

            “Aku dapat!!!”, Seorang bapak-bapak disebelah kolam berseru riang. Segera melepaskan ikan mas sebesar telapak tangan dari pancing.

            “Foto dulu pak!”, Istrinya sudah mengangkat tongsis tinggi-tinggi. “PLUNGG”, ikan yang hendak dipegang istrinya malah jatuh kembali ke kolam. Foto Selfi pun karenanya batal.

            “IBUKKKK!!”, Suami melotot kesal. Istri mengigit bibir bawah, cengar –cengir serba salah, minta maaf.

            Ada banyak kejadian lucu disini, mulai dari yang ikannya kembali lepas, hingga ada yang pancingnya ditarik ikan ke tengah kolam. Paman Leo benar, disini kami bisa melupakan sedikit perihal kesedihan.

            “Kak  Sulung sudah sanggup belum?”, Rani yang tengah kesal semenjak sekian lama belum sanggup bertanya kepadaku. Aku menggeleng. Belum.

            “YEH!! Aku sanggup lagi!”, Rana bergegas menarik pancingnya yang sudah disambut ikan untuk kedua kalinya. Tante Ratna membantu. Adi-Edi mendekat, meninggalkan pancing mereka.

            “Paman sudah dapat?”, Aku memecah keributan mereka, bertanya ke paman Leo yang memancing disebelahku. Itu hanya basa-basi, padahal sudah terang kalau paman belum dapat.

            “Mungkin sebentar lagi...” Paman Leo sedikit tertawa.
            Hening sejenak, keributan rombongan tante Ratna dan yang lainnya semakin seru.
            “Waktu itu saya mendapatkan telepon dari mafia itu paman”, Suaraku datar.
            Paman yang tadinya hendak bercanda, eksklusif berubah serius.
            “Kapan?” Paman Leo menoleh kepadaku.
            “Pas waktu pulang dari pemakaman..” Aku memperhatikan kalung dukungan mama yang kini selalu saya pakai. Aku tak perduli lagi meskipun warna kalung itu ialah hitam.

            “Astaga. Kenapa kemarin kau tak bilang, terus apa yang dikatakan olehnya?” Paman memegang bahuku.

            “Aku tidak tahu, ia bilang kalau akan membunuh kami, dan ingin mengambil sesuatu dari kami, saya tak tahu apa yang ia maksud. Aku takut paman. Tolong, Paman dan Tante lindungi kami semua..” Aku Bersuara gemetar, melihat ke arah Rana-Rani dan Adi-Edi.

            “Mana Nomornya?” Paman Leo mengeluarkan Handphone. Aku melihat HP, menyebutkan. Paman Leo berusaha untuk menelponnya, mengangkat bahu, bilang kalau nomor itu sudah tidak aktif.

            “Ya sudahlah paman. Lupakan, mungkin itu hanyalah gertakan saja” Aku kembali fokus ke pancingan. Menutup pembicaraan.

            “Kamu hening saja sulung, polisi niscaya akan membongkar semua kejahatan ini, dan menangkap bandit-bandit itu” Paman Leo tersenyum, menenangkan. Terlihat masih nampak wajah khawatirnya.

            Semakin siang, semakin banyak rombongan pemancing datang. Parkir kendaraan beroda empat dan motor semakin rapat di belakang sana. Suara cekikan tertawa, bunyi kerumunan, menjalar semakin ramai. Aku berhenti memancing, bukan lantaran kerumunan pemancing itu, tapi lebih kepada terpikir akan bahaya mafia waktu hari itu. Satu lagi yang menjadi pertanyaan, benda apa gotong royong yang ingin mereka ambil dari keluarga kami, apakah kalung ini? Aku kembali memandangi kalung itu. Tidak mungkin, mustahil kalung ini yang mereka cari. Aku menggeleng. Apa kelebihan kalung ini? Daripada penuh kebimbangan, saya melepaskannya, menaruhnya di kantong.

            Paman Leo sudah membantu menarik pancing Edi yang telah ditangkap ikan, ikan lele mereka dapatkan, tawa senang Adi-Edi menghiasi daerah pemancingan.

            Setengah jam berlalu, kami sudah mendapatkan beberapa ikan, lelah, perut menjadi terasa lapar, semenjak kemarin ini kali pertama perutku benar-benar terasa ingin diisi. Mendekat ke arah bi Dira.

            “Bagaimana den, ikannya sudah didapat belum?” Bi Dira menanyai, sembari membentangkan karpet untuk daerah makan bersama.

            “Lumayan bi.... Oh iya, Bi Dira barusan masak apa?” Antusias saya melihat lauk yang hendak ditata rapi di atas karpet.

            “Den sulung laper...? Syukurlah....!” Bi Dira menghentikan gerakan tangannya sejenak, tersenyum ke arahku. “Wah banyak den, ada ayam goreng kesukaan den sulung, bayam bening dan yang lainnya. Bentar yah den, bibi susun rapi dulu..” Bi Dira kembali mentata.

            Beberapa menit berlalu, kami semua termasuk bi Dira sudah duduk rapi berlingkar menyantap hidangan. Tidak ada sedikitpun pembahasan kami menuju ke arah kejadian itu, hanya akan merusak suasana jikalau membicarakannya. Aku lahap sekali, benar-benar terasa nikmat menyantap kuliner di luar rumah, apalagi berkumpul bersama.... Ah, tiba-tiba saya kembali teringat ayah dan mama. Menghentikan makan.
            “Kenapa sulung? Kau sudah kenyang sayang?” Tante Ratna menanyai, saya menggeleng, tersenyum, kembali makan. Tak mau merusak suasana.

            Sial, ditengah nikmat mengunyah ayam goreng. Perut mendadak menggigit, sakit terasa, menghentikan mengunyah, melirik ke arah mana toilet berada. Ketemu, diseberang jalan sana ada toilet umum. Aku meminta izin untuk menuju ke toilet, paman Leo memperbolehkan. Tante Ratna memperlihatkan untuk menemani, saya menggeleng, tidak usah. Bergegas melangkah, sedikit berlarian hendak ke seberang.
            Mobil berlalu-lalang melaju dari kanan ke kiri dan kiri ke kanan. Terlihat ramai, saya berhenti di pinggir jalan, menunggu celah untuk bisa berjalan ke seberang. Setelah motor merah terakhir lewat, jalan sudah sedikit lengang. Aku bergegas berlari.

***

            Aku menyampaikan uang 2000 ke penjaga toilet, perut kini sudah terasa lega dan nyaman, diseberang sana terlihat adik-adikku dan yang lainnya masih asyik makan, sedikit tertawa-tawa. 

            Kembali ku menunggu jalan biar lengang. Pas berdiri di pinggir jalan, ada kendaraan beroda empat hitam glamor berhenti persis dihadapanku. Tiba-tiba, dua orang laki-laki keluar, tanpa ba-bi-bu eksklusif meloncat dihadapanku, dan mendekap ekspresi dengan saput tangan. Membuat napasku tersenggal, dan karenanya tidak sadarkan diri.
           

BERSAMBUNG....

Profil Penulis ada disini Nantikan Novel Motivasi dan artikel-artikel motivasi yang lainnya :) :) :) Tolong tinggalkan komentar untuk menghargai admin, tapi jangan spam yah ^_^ Novel motivasi hitam episode 3 baca disini

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "#1 Novel Motivasi Hitam Episode 1 Dan 2"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel