#4 Novel Motivasi Hidup Hitam Episode 5
#4 Novel Motivasi Hidup 'HITAM' episode 5 - Kembali lagi dalam novel hitam, bagi anda yang sudah menunggu kelanjutan novel hitam, hari ini saya memposting novel yang memotivasi hidup yang berjudul hitam episode 5.
Bagi anda yang tertinggal ceritanya silahkan baca:
- #1 Novel motivasi 'hitam' episode 2
- #2 Novel Motivasi 'hitam' episode 3
- #3 Novel Motivasi hidup 'htam' episode 4
#4 Motivasi mencar ilmu untuk hidup yang lebih baik
![]() |
#4 Novel Motivasi Hidup 'HITAM' episode 5. Sumber foto : www.joeboylephotography.com |
Berikut #4 Novel Motivasi Hidup 'HITAM' episode 5 :
Belajar hidup di tengah rimba- 1
“Kau perhatikan baik-baik sasarannyo, arahkan anak panah, kemudian tarik busurnyo. Pastikan tepat keno di titik merah...” Kai dengan santai mengajari kami membidik anak panah, Ambong yang dari bayi sudah tarik napas disini jelas-jelas sudah lebih paham, sedangkan aku, sedikit saja tidak mengerti.
Ini sudah sekitar satu ahad disini, saya mulai pasrah mendapatkan kehidupan hitam yang tidak menyenangkan ini.
Mungkin sebagian orang menyampaikan jikalau dunia hitam yakni dunia yang penuh dengan hal-hal tindak kriminal dan penuh dosa, namun bagiku, dunia hitam yakni dunia yang gelap, tidak menyenangkan, penuh cobaan, menyerupai kini ini. Padahal dulu saya paling bencing dengan warna hitam, baik itu duduk kasus pakaian, orang, gelap dan juga kalung itu. Entah dimana kalung santunan mama itu sekarang, saya juga masih belum tahu dengan tanggapan atas teka-teki mama.
Sepertinya ini semua memang sudah takdir, saya yang benci orang-orang berkulit hitam, malah berkumpul dengan orang-orang pedalaman disini, yang tidak satupun berkulit putih, kecuali anak perempuan kecil itu. Dulu saya yang benci kegelapan dikala menjelang tidur, tapi kini jangankan ada lampu, obor pun tak ada untuk menemani tidurku. Dulu saya yang takut sekali dengan cobaan dunia, namun kini berlipat-lipat sudah cobaan itu tiba melanda, kedua orang-tua dibunuh, adik-adikku yang entah kini apa kabarnya, dan saya yang dibuang disini.
“Seumur-umur, kai gres pertamo inilah melihat anak laki-laki yang begitu besar lengan berkuasa dan tangguh macam kau, sulung..” Kai semalam berkata kepadaku di dalam goa, ketika api unggun masih menyala, ketika Ambong sudah lelap tidurnya.
Kai menyampaikan itu sehabis saya berbicara wacana penderitaan yang tengah mengerumuniku sekarang, saya tidak tahu lagi hendak mengeluh kepada siapa, Ambong tidak bisa diajak bicara terlalu serius, dan orang-orang lainnya sama sekali belum ada yang mau bicara padaku. Hanya kai yang kuharap bisa menjadi menyerupai orangtua, sekaligus sahabatku. Dan ternyata itu tidaklah salah, dibalik wajah hitam berkerut itu, dimana jenggot, kumis beruban, dan rambut sedikit gimbal, serta tubuh tinggi dan otot yang berbentuk – Karena proses alamnya yang sering berburu – dibalik laki-laki renta yang sedikit rentah itu, kai memiliki budi luar biasa, sama menyerupai seorang penceramah. Tidak heran jikalau kakek ini menjadi kai atau pemimpin di suku aye-aye.
Awalnya saya tidak mengerti apa kata kai barusan, ia menyampaikan jikalau si sulung yakni anak laki yang kuat? Macam mana pula? Ambong pun tahu jikalau saya ini laki-laki manja, yang tak bisa apa-apa.
“Kuat yang sebetulnyo bukanlah yang cerdik berburu, bukanlah yang biso memikul barang-barang berat, bukan pulo yang biso mengalahkan hewan-hewan buas. Kuat yang sebenarnyo itu ketika seseorang tidak mengalah pado hidupnyo, terus berdiri meskipun bumi yang diinjaknyo itu berduri tajam, tidak kalah dengan keadaan... Macam kau, sulung. Kalau kamu tidaklah kuat, kamu pastilah sudah gantung diri, mencubo lari dari dunio, banyak nian orang macam itu, menghilangkan nyawo kareno tak kuat. Itulah mengapo, kai salut samo kau, nak. Teruslah hadapi dunio dengan tangguh, sulung. Hadapi setiap rintangan, maka suatu ketika kelak, kamu biso menaklukan dunio ini.”
“Hei sulung... Cepatlah kamu bidik sasarannyo, kaki kami sudah pegal-pegal menunggu kamu yang dari tadi macam watu sajo...” Seorang anak sepantaran kami memecah lamunanku yang mengingat perkataan kai semalam.
Kai bilang jikalau diusia kami berlima yang masih muda ini, kami harus bisa mencar ilmu membidik dengan anak panah, ini salah satu keahlian yang mesti dimiliki oleh semua anak laki-laki suku aye-aye semoga bisa hidup di tengah luas dan liarnya rimba.
Dengan gemetar, tangan mencoba menarik ujung anak panah secara perlahan, mata mencoba fokus untuk melihat titik merah di batang pohon, 4 anak sepantaran aku, termasuk Ambong sudah menunggu gemas. Beberapa menit melihat sasaran saya melepaskan tangan, menciptakan anak panah meluncur, membelah udara, hasilnya.......... Jauh sekali, bahkan anak panah yang gres saya lempar barusan tidak hingga sepuluh meter -- setengah dari titik merah. Meluncur ke bumi dengan loyonya, semuanya tertawa.
“Bagaimano kamu ini, memangnyo di suku kamu tidak pernah mencar ilmu memanah?” Ambong berkomentar. Aku melirik ke arah kai, hanya kai yang tidak tertawa.
“Kau damai sajo sulung, biso kareno biaso.. Seseorang yang hebat apopun dulunyo jugo pemulo, namun kareno dio biaso, dio biso menjadi seorang ahli..” Kai mengacak rambutku, tersenyum.
“Kai... Kenapo tidak diusir sajo dio ni? Siapo tahu dio termasuk anggota suku pute..” Salah satu berkata, disetujui dengan anggukan oleh dua lainnya. Mereka memang sedikit memusuhiku, selalu saja menyampaikan jikalau saya yakni anggota suku pute, padahal saya saja tidak tahu suku pute itu dimana dan menyerupai apa?
Angin berhembus sepoi-sepoi, menciptakan dedaunan di atas menari dengan lembut, satu burung dari tadi sibuk turun-terbang, turun-terbang, mengambil ranting-ranting kecil, rerumputan, daun kering, dan segala macam yang bisa ia jadikan sebagai sarang. Ambong dan 3 lainnya sudah berkali-kali meluncurkan anak panah, banyak yang gagal, tidak tepat sasaran. Aku mendengus, mereka ternyata tidak terlalu ahli, lisan mereka saja yang besar.
Sekarang nyamuk-nyamuk sudah tidak lagi menggerumuni tubuhku, Ambong memberi belakang layar bagaimana semoga tidak disantap nyamuk di tengah hutan, dengan daun –yang entah apa namanya—lalu ditumbuk dan dioles di kulit, menciptakan kulitku sedikit kehijau-hijauan.
Latihan hari ini selesai, kai menyuruh kami untuk istirahat, besok gres dilanjutkan. Kai dan 3 orang lainnya berjalan kembali menuju ke goa. Ambong menyeret tanganku, kemana? Aku mendengus.
“Kau mesti ikut permainan ini, Sulung. Pasti menyenangkan” Ambong sudah melepaskan tanganku, berjalan lebih dulu, menyibak sedikit semak. Aku mengikuti dari belakang, masih belum tahu kemana arah tujuan anak pedalaman ini.
Beberapa puluh meter menjauh dari goa dan daerah latihan, si Ambong masih terus berjalan, kini ia mendekat ke arah sebuah pohon, behenti di depannya. Aku pernah melihat pohon itu, pohon nangka, hei lihat ada banyak buah-buahnya bergelayut di atas sana, kira-kira ada sepuluh. Kebetulan sekali saya lapar, saya pernah beberapa kali makan nangka matang, rasanya anggun dan kenyal. Wah, Ambong ternyata ingin memetik buah nangka, tumben ia pengertian. Aku juga sudah beberapa hari ini tidak makan buah-buahan anggun lagi.
Ambong melengak-lengok mencari sesuatu di bawah, menunduk, mengambil watu yang sedikit runcing.
“Kau mau melempari buah nangka memakai batu, Ambong?” Aku bertanya gemas, bukannya lebih cepat jikalau ia memetiknya dengan cara memanjat?
“Melempari? Melempari apo?” Ambong yang sudah memegang watu menoleh ke arahku.
“Yah melempari nangko matanglah? Apo lagi?” Aku mulai menjiplak bahasa mereka dengan memakai karakter “o” di ujung kalimat.
“Melempari nangko...” Ambong membisu sejenak, tertawa. “Oyoyoy, siapola nak melempari nangko, ini watu runcing buat ngeluarkan getah dari kulit pohon ini... Kau ternyato lucu jugo, sulung.” Masih tertawa, menepuk-nepuk pundak aku.
Aku melongo, tidak mengerti, apanya yang lucu?
“Ini bukanlah pohon nangko, ini pohon “sukun”. Kau benar-benar tak mencar ilmu banyak rupanyo samo suku kau, atau suku kamu tak biso membedakan mano sukun, mano nangko?” Ambong sedikit menghentikan tertawanya. Mulai menggores kulit pohon, keluar cairan putih yang disebut getah itu.
Ay, jadi saya salah? Oyoyoy hilanglah sudah harapanku hendak makan nangka segar manis. Lagipula memangnya buat apa Ambong mengeluarkan getah dari pohon?
Aku kembali mendongakkan kepala ke atas, melihat dengan teliti buah-buah besar bergelantungan itu, dengan daun-daun hijau dan bercampur dengan satu-dua warna daun yang kekuningan. Bertanya dalam hati, apa benar itu bukan buah nangka? Perasaan itu betul buah nangka, apa mungkin di hutan rimba ini tumbuhannya berbeda menyerupai di kota?
Satu daun berwarna kuning melepaskan diri dari pohon, menciptakan ia melayang lembut menemui bumi. Tidak usang kemudian, Ambong sudah final mengumpulkan getah di atas daun, getah putih kental yang menggumpal.
“Mau kamu apakan?” Selesai pertanyaan itu meluncur, bunyi perutku tiba-tiba terdengar demo.
“Kau lapar, sulung?” Ambong yang mendengar bunyi perutku menoleh. Aku mengangkat bahu.
“Akupun lapar pulo...” Ambong memegangi perut.
“Kau makan sajo getah itu...” Aku melirik ke arah getah di tangan Ambong, mencoba bergurau dengan bahasa mereka.
“Memang itu rencano saya semenjak awal...” Ambong nyengir, menciptakan gigi-gigi kekuningan itu terlihat.
Bicara wacana gigi, saya juga telah usang tidak membersihkan gigi, rindu sekali buih rasa anggun dan kesejukan mint dari odol. Kalau ditimbang, boleh jadi sudah berkilo-kilo kotoran gigi melekat di gigi ini. Ah lupakan wacana gigi, saya sedikit tertarik dengan kata Ambong barusan, apa katanya? Ia ingin memakan getah itu? Sepertinya ini akan menjadi pertunjukkan yang menarik.
“Makanlah....” Aku tidak sabar melihat Ambong tersedak getah, mungkin dengan begitu cerewetnya bisa sedikit berkurang.
“Tidak sekarang, nantilah... Nah kini kamu pegang getah ini dulu..” Ambong menyerahkan daun dengan getah di atasnya. Aku berat hati mengambilnya, mungkin ia ingin melaksanakan ritual untuk memakan getah ini.
“Kau mau kemano?” Aku menghentikan langkah Ambong yang sudah memeluk pohon itu.
“Kau tunggu sajolah.. Mulut kamu ini banyaomong nian..”
Aku menggaruk kepala, bukankah ia berkali-kali lebih banyaomong ketimbang aku?
Ambong terus menempelkan dirinya ke pohon, perlahan ia bergeser ke atas, berpegang erat ke tangkai-tangkai pohon. Tidak butuh waktu yang lama, ia sudah tertancap di atas. Aku menggaruk kepala lagi, ia mau apa?
Cuman butuh beberapa menit, 1 buah besar jatuh, saya terperanjat. Ambong benar-benar tidak berpehitungan, selangkah saja saya mundur barusan, buah itu persis menimpa kepalaku, Aku hendak melempar ambong dengan getah saking kesalnya. Tak butuh waktu yang usang lagi, Ambong sudah berada di bawah kembali, ia benar-benar gesit turun-naik pohon, macam monyet.
“Nah kamu ambil watu runcing itu...” Ambong menunjuk watu runcing yang gres ia gunakan barusan.
“Kau mau apo dengan buah nang... eh buah sukun itu?” Mengingat kata Ambong jikalau buah itu berjulukan sukun, ya sudah kusebut sukun.
“Oyoyoy... Memangnyo suku kamu tak tahu, ini namonyo buah nangko, bukan sukun, jikalau sukun buahnya kecil-kecil, yang paling besar sajo mentok sebesar kepalo kau..” Ambong sudah tertawa, saya memasang wajah kesal, hampir menimpuk anak hitam ini dengan getah. Ia mempermainkan aku.
Aroma semerbak amis mulai menari di hidung ketika Ambong membuka buah sukun.. eh buah nangka sebesar tubuh babi itu. Warna kuningnya merekah menarik hati untuk segera menikmatinya. Tanpa banyak kata saya menurunkan getah, ikut membantu membuka nangka, perutku sudah benar-benar lapar.
Hampir setengah jam mungkin kami berkutat dengan nangka matang itu, rasanya tidaklah mengecewakan, anggun dan kenyal, menciptakan perut kenyang. Namun sialnya, tangan jadi lengket-lengket akhir getahnya yang melekat di tangan.
***
“Kau pasang pulutini ke atas sano....”
Ambong menyerahkan getah yang sudah dibalutkan di ranting, seluruh ranting telah dipenuhi getah, hanya tersisa ujung untuk memegangnya. Pohon yang dimaksud Ambong yakni pohon tinggi yang buah-buahnya kecil, Ambong bilang jikalau buah itu yakni masakan burung, dilihat dari bawah sini saja memang aneka macam burung dengan ukuran, warna dan bunyi yang berbeda-beda, tengah asyik menikmati buah.
“Apo? Di atas sano? Aku tak bisa memanjat, Ambong...” Mengeluh.
“Kau ini memang tak biso apo-apo, tak bisa diandalkan. Jangan-jangan kamu memang sengajo dibuang oleh suku kamu sebab memang kamu tak berguno..” Ambong menggeleng, saya mulai tersinggung dengan perkataannya kali ini, jikalau saja saya tak disini, saya tidak akan mau berteman sama anak hitam dekil banyaomong ini.
“Dengar yo sulung, jikalau kito mau hidup di rimba ini, kito mesti biso semuanyo, berburu, berperang, dan lainnyo. Kalau tidak, kamu biso tersingkir dari sini....” Ambong berkata sebal, menggigit puluhan “pulut” dan mulai memanjat pohon. Setelah sampai, ia meletakkanya di setiap sudut pohon, lantas kembali turun.
“Yo sudah, kito tunggu sebentar. Biar menunggunyo lezat lebih baik kito rebahan di lapangan dulu.. “ Ambong berjalan, mengajak saya entah kemana. Aku lelah, ini benar-benar tidak menyenangkan. Bukankah Ambong sebelumnya mengajak saya bermain, apakah menjerat burung itu yang ia sebut permainan? Membosankan.
Sudah beberapa jauh melangkah, hei rupanya di tengah hutan rimba ini ada lapangannya pula, bertahtahkan rumput-rumput kecil halus, menyerupai di lapangan bola kaki. Kalau diukur-ukur lebarnya, disini bisa dijadikan lapangan futsal, sayang disini orangnya sedikit sekali, dan mana mengerti mereka wacana futsal.
Sinar matahari hari ini kebetulan sedang tidak terlalu panas, meskipun tidak bisa main futsal, lapangan ini tepat menjadi lokasi untuk rebahan. Ambong sudah duluan merebahkan tubuh dengan posisi melentang, saya juga ikut rebahan.
Langit terlihat biru, beberapa burung melintas di atas. Semoga saja mereka tidak mengeluarkan kotoran di wajah kami. Pandanganku jauh menembus langit biru.
Mama...Ayah....... Sekarang saya tinggal di tengah rimba bersama orang-orang pedalaman ini, meskipun awalnya saya takut sekali, namun lama-kelamaan tampaknya saya mulai bisa menyesuaikan diri dengan mereka. Meskipun begitu, saya masih berharap suatu ketika kelak sanggup keluar dari sini.
Rana-Rani, Adi-Edi, apa kabar adik-adik kecilku? Kak sulung rindu sekali dengan kalian, rindu dengan kepintaran Adi-Edi, dan nyanyian Rana-Rani.
Bi Dira.... tolong jaga ke empat adikku tercinta.
“Kak sulung...... Tangkap!” Rani melemparkan bola ke arahku.
Kalau tidak salah itu dua tahun yang lalu, ketika kami sekeluarga pergi ke pantai.
Aku yang tengah tiduran di bawah payung mendengus kesal ketika bola itu mengenai kepalaku, Rana-Rani tertawa melihatku.
“Siapa yang mau eskrim.....?” Ayah tiba membawa sekantong eskrim. Melihat hal itu ke 4 adik-adik kembarku pribadi berlarian menghampiri, saya tak mau ketinggalan.
“Buat mama, mana?” Mama yang duduk di bawah payung menagih.
Pasir putih melekat diseluruh kulit kami. Menikmati eskrim di bawah payung yang ditancapkan di pantai, bersama keluarga sembali mencicipi semilir angin, memandang air bahari yang tak pernah henti pasang-surut, dan ditengah orang-orang yang berwisata, rasanya menyenangkan sekali.
Mama sudah mengangkat tongsis, “Ayo senyum.....”, Kami sudah merapat, satu sama lain memasak mimik wajah berbeda-beda, dengan tangan masih berpegangan eskrim.
“Kamu tahu sulung, apa arti dari namamu itu?” Ayah memberi pertanyaan kepadaku.
“SUka bergeLantUNG..” Rana cepat menjawab, mengelap lisan yang berlepotan eskrim.
“Ishh.. Kau nih, memangya saya monyet..” Aku melotot ke arah Rana. Yang lain tertawa.
“Kalau Rana saya tahu ayah..” Aku mengalihkan pembicaraan, “Rana... sama dengan RAjin Namun bAu..” Yang lain tertawa, kecuali rana, melotot ke arahku.
“Ngomong-ngomong, apa arti nama sulung barusan ayah?” Aku kembali ke pembahasan ayah barusan.
“Sulung, itu artinya.... Selalu beruntung” Ayah tertawa.
“Ah ayah, itu sih tak nyambung..” Aku ikut tertawa.
“Sulung.... Sulung.......” Ambong memecah bayanganku, saya menghentikan lekukan bibir mengingat hari itu. “Lihat disana.....” Ambong menunjuk ke tengah hutan.
Dia lagi, sesosok makhluk absurd sehabis kami lihat kemarin di erat air terjun. Terlihat mencari sesuatu, mungkin mencari makanan. Ambong segera menyeret tanganku, “Ayo lari..... Itu mak Abem, jangan hingga ia menangkap kito” Berbisik. Kami lari menjauh.
Mak Abem salah satu sosok misterius yang ditakuti oleh suku aye-aye. Aku kurang tahu persis bagaimana rupanya. Terlihat dari jauh ia memang menakutkan. Sialnya lagi, ketika kami berlari menjauh dari mak Abem, bergegas hendak megambil jeratan burung, segerombolan laki-laki dengan tubuh tinggi, besar, putih, tiba-tiba menghadang kami. Astagaaaaaa, siapa mereka........?
BERSAMBUNG....
Nantikan Kelanjutan kisah Novel 'Hitam' yang bisa memotivasi semangat hidupmu. Nantikan pula motivasi, ilham dan renungan hidup dari blog ini.
Bagi anda yang ingin tahu update terbaru dari blog ini, silahkan berlangganan lewat email pada form sebelah. Nanti akan ada pemberitahuan dari email.
Jangan lupa komentar di bawah ini yah, tapi jangan melaksanakan spam :) TERIMA KASIH
Profil penulis ada disini
0 Response to "#4 Novel Motivasi Hidup Hitam Episode 5"
Post a Comment