Episode 1 Novel Malaikat Bersayap Patah
Episode 1 Novel Malaikat Bersayap patah - Hai sahabat Blogger Jemo Linank berikut, Episode 1 Novel malaikat bersayap patah, hasil karya indra saputra yang kedua.. Silahkan dibaca ..
Hari Pertama Sekolah
“Hamdan.. Masuk, Mandi dulu biar bisa ngaji ke rumah Wak Am..”, Mamak meneriaki saya yang tengah asik bermain mobil-mobilan yang terbuat dari kayu diluar, sendiri.
“Iya makk..” Aku berhenti bermain. Melangkah dengan Malas masuk ke rumah. Mengambil handuk, melangkah ke belakang, mandi ke pancuran belakang rumah.
Setiap sore mamak memang begini, selalu saja menyuruh saya dan ayuk Ani untuk mengaji, shalat. Akhirat niscaya datang, kamu tidak mau kan jikalau nanti masuk ke dalam api neraka, kata mamak.
Waktu itu saya berumur 5 tahun dan ayuk Ani berumur 10 tahun. Kami dibesarkan di keluarga yang bisa dibilang miskin sekali. Rumah kami hanya layaknya kotak kecil saja, hanya punya 1 kamar (tempat Mamak dan Bapak tidur), 1 ruangan tamu (yang tidak ada isinya, tidak ada kursi, meja apalagi TV) dan punya 1 ruangan dapur (Lantainya masih tanah, atap bocor, dipenuhi dengan segala perabotan masak yang berwarna hitam pekat yang digantung di dinding-dinding). Atap-atap rumah digelantungi dengan sarang laba-laba dan kotoran-kotoran berwarna hitam pekat, atap-atap bocor sedikit menganga.
Kesedihan hidup kami tidak hingga disitu saja, semenjak saya dilahirkan hingga sekarang, mamak sudah menderita penyakit itu, penyakit langka yang tidak tahu penyebabnya dan tidak terdeteksi nama penyakitnya apa.
“Besok saya mulai sekolah ya mak?” Aku yang gres tamat mandi bertanya ke mamak yang lagi melipat baju diruang tamu, dibawah remang-remangnya bohlamp 5 watt. Matanya selalu berkedip dengan tidak normal, berbeda dengan orang yang sehat, apabila mamak berkedip butuh waktu agak usang untuk membuka matanya lagi, matanya selalu berair, itulah salah satu efek penyakit itu.
“Iya..” Mamak menjawab singkat, tangannya masih sibuk melipat baju.
“Kau tidak perlu sekolah Hamdan, cari duit saja, kamu itu laki-laki, lagi pula kamu belum punya seragam baru. Bagaimana pula mau sekolah” Bapak menimpali dari depan. Mendengar pembicaraan kami. Ayuk Ani yang menolong mamak melipat baju hanya diam. Mamak menyuruh saya hening saja, bilang bahwa besok niscaya sekolah.
Bapak memang begitu, bahwasanya orangnya baik, sayang kepada kami, tapi beliau akan berkembang menjadi menjadi galak, simpel berputus asa apabila sedang tidak punya uang, ibarat ketika ini.
“Aku bagaimana mak? Aku juga belum punya buku baru..” Ayuk Ani ikut bertanya, tak memperdulikan perkataan bapak yang mengomel diluar barusan.
Ayuk Ani besok masuk ke kelas baru, kelas 5, ia masuk sekolah dulu umur 6 tahun. Mamak berde-sst, menyuruh hening saja, besok semuanya sudah ada.
Entah apakah mamak betul-betul sudah menyiapkannya, atau mamak hanya ingin menenangkan kami saja. Yang niscaya kami sangat mengharapkan semua perkataan mamak itu benar.
***
Keesokan harinya, pagi-pagi sekitar jam 5 saya sudah bangun, tidak sabaran ingin berangkat sekolah untuk pertama kalinya, ayuk Ani, mamak dan bapak masih tidur pulas. Aku bergegas mandi di pancuran belakang, membawa senter untuk menerangi jalan, air pancuran di belakang rumah kami tidaklah terlalu jauh, paling hanya 10 meter, airnya sangat jernih sebab berasal dari sumur yang berada di tengah hutan. Untung pagi ini tidak terlalu gelap, jadi airnya bisa kelihatan dengan cukup jelas.
Udara terasa hirau taacuh menusuk tulang, tanganku gemetaran tak bisa menahan dingin, di verbal keluar embun saking dinginnya, apalagi di belakang rumah kami masih terdapat hutan lebat, menghasilkan embun-embun pagi mengepul, membasahi setiap benda yang mereka sentuh.
Kampung kami memang masih asri, masih banyak pohon-pohon menjulang tinggi, wajarkan bila cuaca pagi-pagi disini begitu terasa hirau taacuh sekali menusuk tulang.
Suara serangga, kodok dan jangkrik menemani mandi di pancuran subuh ini. Tidak ada rasa takut di dalam benak, ibarat yang mamak bilang bahwa saya ialah seorang pemberani yang tidak takut dengan apapun. Sebenarnya itu ialah sugesti dari mamak semoga saya benar-benar menjadi pemberani.
Gigi bergemulutuk, tangan gemetaran, verbal dan hidung masih terus keluar embun mengambarkan bahwa saya betul-betul kedinginan. Air pancuran serasa air es, seakan membekukan seluruh tubuh. Aku bergegas menuntaskan mandi pagi, tidak sanggup terlalu usang disini. Bergegas menggunakan handuk, kembali ke rumah.
Mamak ternyata sudah bangkit sesudah saya tamat mandi. Tersenyum bahagia ke arahku, mengambil baju yang diletakkan di lemari pakaian yang sudah butut itu, dinding dan tiangnya sudah keroposan dimakan rayap. Memberikannya kepadaku.
Ternyata mamak tak hanya ingin menyenangkan kami, Lihatlah, mamak memang sudah memperlihatkan baju gres untuk aku.
“Mak? Mamak sanggup uang darimana?” Aku yang heran dengan baju gres itu. Bukankah semalam bapak bilang bahwa kini lagi krisis. Uang sudah habis untuk membeli beras, tidak ada sisa untuk membeli seragam baru, makannya bapak bilang semalam tidak usah sekolah.
“Jangan bilang jikalau mamak minjam uang ke tetangga sebelah?” Aku memperhatikan mamak lamat-lamat, rambutnya terlihat memutih 1, 2 lembar.
Mamak menggeleng. “Kau tidak perlu tahu, yang niscaya Hamdan sudah punya seragam gres kan?” Mamak tersenyum, mengusap rambutku.
“Seragam dan buku gres punya Ani mana mak?” Ayuk Ani yang gres bangun, bertanya, menguap, mengucek mata.
“Ada” Mamak menjawab lembut, bilang jangan terlalu berisik nanti bapak bangun, mengambil baju dan bukunya ke dalam lemari itu pula. “Ini” Mamak memperlihatkan buku gres dan seragam gres itu ke ayuk Ani. Bapak masih tidur.
“Wahh” Ayuk ani bersorak kesenangan, matanya ibarat bersinar, seakan melihat benda paling indah sedunia, memeluk buku barunya.
“Sudah. Mandi dulu sana” Mamak mengucek rambut ayuk Ani. Ayuk Ani mengangguk, bergegas mandi.
Aku bersemangat sekali menggunakan seragam gres itu, serasa ibarat mendapat keajaiban. Seragam merah putih ini betul-betul memberiku semangat. Mamak membiarkanku menggunakan seragam sendiri, pergi ke dapur untuk memasak nasi goreng.
“DUARRR” Suara piring jatuh terdengar kencang di dapur, menciptakan kaget seisi rumah, menciptakan bapak terbangun dari tidurnya, melihat asal bunyi itu. Mamak menjatuhkan piring plastik, saya bergegas menolong mamak meletakkan piring ke kawasan asalnya.
Sudah sering memang mamak menjatuhkan piring ibarat ini, hal itu pula sebab efek penyakit dari badan mamak. Mamak sering menjatuhkan barang, sering juga terjatuh, tangan dan tubuhnya selalu gemetaran.
Bapak membisu tak berkomentar, memasang air muka sebal, kembali ke depan, duduk di depan rumah, tidak garang untuk kembali tidur. Mamak kembali mengambil minyak, meniup bara api.
“Anak mamak keren sekali, terlihat tampan” Mamak tersenyum takzim ke arahku yang sudah mengenakan seragam gres itu. Aku kegirangan.
“Tampan dari hongkong kali mak” Ayuk Ani yang gres tamat mandi berkomentar, cekikikan. Aku melotot.
Sekarang sudah pukul 6. Diluar sudah terlihat terang, mamak membantu ayuk Ani mengikat rambutnya, sesudah menggoreng nasi. Aku dan bapak sudah makan nasi goreng, duduk di ruang tamu beralasan karpet. Tidak ada bumbu yang Istimewa dalam nasi gorengnya, hanya berbumbu daun bawang, garam dan vetsin. Ditemani dengan kopi panas.
Aku berpamitan dengan bapak dan mamak. Meskipun ini hari pertama sekolah, saya tidak perlu diantar, cukup bareng dengan ayuk Ani. Lagipula saya sudah tidak asing lagi dengan sekolahnya, sudah sering bermain di sekolah itu, yang paling hanya berjarak 10 buah rumah dari sini.
Suasana disekolah terlihat ramai, ada banyak yang menggunakan baju putih merah berwarna segar, kebanyakan menggunakan baju seragam baru.
“Ayuk Ani kira-kira mamak sanggup uang darimana yah?” Aku bertanya ke ayuk Ani yang sedah memilihkan saya dingklik kawasan duduk.
“Nah kamu duduk di depan saja, biar pinter. Jangan pernah duduk di belakang” Ayuk Ani menyuruh saya duduk, tak menjawab pertanyaanku barusan. Berkata jikalau ia ingin masuk ke kelasnya dulu. Aku mengangguk.
Suasana di kelas semakin ramai, terdengar keributan bawah umur lain yang gres masuk kelas, ditemani oleh ibu atau ayahnya. Suara bawah umur yang merengek tak mau ditinggalkan ibunya, bunyi bawah umur kecil yang tak mau duduk di depan, bunyi anak yang minta uang, bercampur menjadi satu, menciptakan heboh kelas, berkicauan.
“Aku mau duduk disitu makk” Seorang anak wanita menunjuk dingklik kosong disebelahku.
“Jangan disitu sayang, nanti kamu ketularan penyakit ayan, mau gak?” Ibunya melarang, berbisik. Anaknya menggeleng, mencari kawasan duduk lain. Aku menatap kosong papan tulis hitam di depan. Pura-pura tidak mendengarkan perkataan ibu-ibu itu.
Warga kampung disini menduga bahwa mamak menderita penyakit ayan, Itulah yang menciptakan mereka takut untuk mendekat, takut ketularan. Padahal ketika diperiksa, dokter menyampaikan itu bukan ayan, dokter saja resah dengan penyakit aneh yang diderita mamak itu.
“Disini kosong kan?” Anak yang seumuran, berkulit hitam menunjuk dingklik disebelahku. Aku mengangguk.
“Nah saya duduk disini saja jikalau begitu” Ia melemparkan tasnya ke atas meja, duduk disebelaku. Tersenyum tulus, menjulurkan tangannya.
“Kenalkan. Aku Yogi”
Aku memasang wajah datar. Menjulurkan tangan, membuka verbal “Hamdan” Lantas kembali diam.
Aku tidak suka punya teman, di dunia ini tidak ada orang yang baik, semuanya jahat. Dari dulu tidak ada yang mau jadi temanku, sebab tidak boleh oleh orang bau tanah mereka, hal itu yang menciptakan perilaku saya menjadi hirau taacuh ibarat es.
Orang yang disebelahku paling hanya bertahan 1 atau 2 hari, sesudah itu jikalau orangtuanya tahu, sadar jikalau anaknya berteman dengan Hamdan anak wanita berpenyakitan itu, niscaya ia disuruh pindah ke kawasan duduk yang lain.
Hari sekolah berjalan cepat, hari pertama dihabiskan dengan perkenalan, maju satu persatu lantas menyebutkan nama.
Meskipun belum ada orang yang mau berteman denganku, selain Yogi (Yang mungkin juga tidak akan lama), itu sudah menciptakan sangat senang.
Hari pertama sekolah, awal saya membangun masa depan.
Bersambung... Nantikan kehadiran Novelnya ya... :)
0 Response to "Episode 1 Novel Malaikat Bersayap Patah"
Post a Comment